Sabtu, 25 September 2010

Kelahiran Kembali

PUNABBHAVA



Punabbhava berasal dari bahasa Pali yang terbentuk dari dua kata yaitu kata ”puna” dan ”bhava”. Kata ”puna” berarti lagi atau kembali, sedangkan ”bhava” berarti proses menjadi ada/eksis atau kelahiran. Jadi, secara harafiah, punabbhava berarti proses menjadi ada/eksis lagi atau kelahiran kembali atau tumimbal lahir. Punabbhava atau Kelahiran kembali atau tumimbal lahir merupakan suatu proses menjadi ada/eksis kembali dari suatu makhluk hidup di kehidupan mendatang (setelah ia meninggal/mati) sehingga lahir (jati), dimana proses ini merupakan akibat atau hasil dari kamma (perbuatan)nya pada kehidupan lampau. 




Proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali atau punabbhava terjadi pada semua makhluk hidup yang belum pencapai Penerangan Sempurna, ketika mereka telah meninggal/mati.



Dalam Hukum Paticcasamuppada (Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan), proses menjadi ada/eksis atau punabbhava atau kelahiran kembali disebabkan oleh Kamma (perbuatan) yang kemudian menghasilkan kemelekatan kepada segala sesuatu termasuk kemelekatan pada hidup dan kehidupan. Jadi makhluk hidup apapun yang mengalami proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali (punabbhava), merupakan makhluk yang masih memiliki kemelekatan pada sesuatu dalam kehidupan sebelumnya. Dan seperti yang diuraikan dalam Hukum Paticcasamuppada kemelekatan timbul karena adanya Tanha (Keinginan/Kehausan) dan jugaAvijja (Ketidaktahuan/Kebodohan). 



Karena Avijja (Ketidaktahuan/Kebodohan) seseorang menyadari atau tidak menyadarinya, tetap terus mengumbar keinginan/kehausannya terhadap segala sesuatu sehingga timbul kemelekatan pada dirinya terhadap segala sesuatu.
Proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali atau punabbhava terjadi pada semua makhluk hidup yang belum pencapai Penerangan Sempurna, ketika mereka telah meninggal/mati. Dalam Hukum Paticcasamuppada (Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan), proses menjadi ada/eksis atau punabbhava atau kelahiran kembali disebabkan oleh Kamma (perbuatan) yang kemudian menghasilkan kemelekatan kepada segala sesuatu termasuk kemelekatan pada hidup dan kehidupan. Jadi makhluk hidup apapun yang mengalami proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali (punabbhava), merupakan makhluk yang masih memiliki kemelekatan pada sesuatu dalam kehidupan sebelumnya. Dan seperti yang diuraikan dalam Hukum Paticcasamuppada kemelekatan timbul karena adanya dan juga . Karena Avijja (Ketidaktahuan/Kebodohan) seseorang menyadari atau tidak menyadarinya, tetap terus mengumbar keinginan/kehausannya terhadap segala sesuatu sehingga timbul kemelekatan pada dirinya terhadap segala sesuatu.



Proses Kelahiran Kembali


Dalam proses kelahiran kembali atau rebirth (bahasa Inggris), tidak terjadi suatu perpindahan roh/jiwa/kesadaran ke dalam jasmani yang baru. Yang terjadi dalam proses kelahiran kembali adalah adanya proses berkesinambungan dari kesadaran (citta) pada kehidupan lampau dengan kesadaran (citta) kehidupan baru yang merupakan suatu aksi-reaksi. Oleh karena itu proses kelahiran kembali sangatlah berhubungan dengan proses kematian itu sendiri. Dan kedua proses yang berhubungan dengan batin ini sangatlah kompleks.



Guru Buddha menjelaskan dalam Satta Sutta; Radha Samyutta; Samyutta Nikaya 23.2 {S 3.189} bahwa makhluk hidup pada umumnya dan manusia pada khususnya merupakan perpaduan dari lima kelompok (Panca Khandha), yang kelimanya dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama yaitu jasmani atau fisik dan yang kedua adalah batin. Baik fisik maupun batin ini tidak terlepas dari hukum perubahan, suatu saat muncul dan saat kemudian mengalami pemadaman/mati. Batin sendiri terdiri dari perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran. Unsur-unsur batin ini disebut dalam bahasa Pali sebagai citta. Citta juga sering disebut dengan kesadaran. Citta/kesadaran ini mengalami kemunculan, pemisahan dan pemadaman/mati. 



Pada saat seseorang mengalami kematian, jasmani tidak lagi bisa berfungsi untuk mendukung citta/kesadaran. Citta/kesadarannya pun akan mengalami pemadaman/kematian dan secara otomatis ia meneruskan kesan apapun yang tertanam padanya kepada Citta/kesadaran penerusnya yang tidak lain merupakan Citta/kesadaran pada kehidupan yang baru. Penerusan Kesadaran (Patisandhi Vinnana) ini terjadi dengan adanya peran dari Kamma yang pernah dilakukan.



Ketika jasmani mengalami kematian, dalam pikiran orang yang sekarat muncul kesadaran yang bernama Kesadaran Ajal (Cuti Citta). Ketika Kesadaran Ajal mengalami pemadaman juga, maka orang tersebut dikatakan sudah meninggal. Tetapi pada saat yang bersamaan pula (tanpa selang/jeda waktu) Citta/kesadaran kehidupan baru muncul. Dan saat itulah seseorang telah dilahirkan kembali, sudah berada dalam kandungan dengan jasmani yang baru berupa janin. Keseluruhan proses ini terjadi dalam waktu yang singkat.



Perumpamaan Lilin


Proses kelahiran kembali dimana tidak adanya peristiwa perpindahan jiwa/roh dapat diperumpamakan seperti sebuah api lilin. Ketika kita melihat sebuah api yang menyala pada sebuah lilin nampak apinya sama saja walaupun telah satu jam telah berlalu. Tidak tampak adanya api dari lilin lain yang menggantikannya. Yang jelas tampak oleh kita adalah memendeknya ukuran lilin tersebut. Tetapi apakah ini berarti api yang menyala tersebut merupakan api yang sama dengan api yang kita lihat satu jam yang lalu? Jawabannya adalah tidak sama.



Jika kita perhatikan secara seksama, api pada lilin tidak akan hidup tanpa adanya unsur-unsur pendukung seperti batang lilin, sumbu, dan udara (oksigen). Api yang menyala tersebut ternyata merupakan api yang berbeda karena tiap saat disokong oleh bagian dari batang lilin, sumbu dan molekul-molekuk udara yang berbeda. Meskipun disokong oleh unsur-unsur yang berbeda, tetapi api tersebut tetap menyala tanpa perlu padam kemudian menyala lagi. Dengan kata lain adanya proses yang berkesinambungan.



Api disini tidak lain adalah kesadaran, batang lilin dan sumbu adalah jasmani, dan udara adalah kamma. Jasmani dan kamma adalah penyokong keberlangsungan kesadaran.




Tiga Kondisi Terjadinya Kelahiran 



Dalam Mahatanhasankhaya Sutta; Majjhima Nikaya 38, Guru Buddha menjelaskan:



"Para bhikkhu, embrio (dalam kandungan) terjadi karena penggabungan tiga hal, yaitu: adanya pertemuan ayah dan ibu, tetapi ibu tidak ada makhluk yang siap terlahir (kembali), dalam hal ini tidak ada pembuahan dalam kandungan; ada pertemuan ayah dan ibu, ibu dalam keadaan masa subur, tetapi tidak ada makhluk yang siap untuk terlahir (kembali), dalam hal ini tidak ada pembuahan dalam kandungan; tetapi ada pertemuan ayah dan ibu, ibu dalam keadaan masa subur dan ada makhluk yang siap terlahir (kembali), maka terjadi pembuahan karena pertemuan tiga hal itu.”


Jadi ada tiga kondisi yang harus dipenuhi sehingga terjadi suatu kelahiran, khususnya pada kelahiran manusia, yaitu: adanya sepasang (calon) orang tua yang subur, adanya hubungan seksual dari sepasang (calon) orang tua, dan adanya makhluk yang siap untuk terlahir (gandhabba). Istilah `gandhabba` berarti `datang dari tempat lain`, mengacu pada suatu arus energi batin yang terdiri dari kecenderungan-kecenderungan, kemampuan-kemampuan dan ciri-ciri karakteristik yang diteruskan dari jasmani yang telah mati. 



Ketika jasmani mati, `batin bergerak ke atas` (uddhamgami) dan mengembangkan diri lagi pada sel telur (calon) ibu yang baru saja dibuahi. Janin tumbuh, lahir dan berkembang sebagai pribadi baru, dengan diprasyarati, baik oleh karakteristik batin yang terbawa (dari kehidupan lampau) juga oleh lingkungan barunya. Kepribadiannya akan berubah dan bermodifikasi oleh usaha kesadaran, pendidikan, pengaruh orang tua dan lingkungan sosial. Watak menyukai atau tidak menyukai, bakat kemampuan dan sebagainya, yang dikenal sebagai "sifat bawaan" dari setiap individu sebenarnya adalah terbawa dari kehidupan sebelumnya. Dengan kata lain, watak serta apa yang dialami pada kehidupan kita saat sekarang, pada tingkat-tingkat tertentu adalah hasil (vipaka) dari perbuatan (kamma) kehidupan lampau. Perbuatan-perbuatan kita selama hidup, demikian pula, akan menentukan di alam kehidupan mana kita akan dilahirkan.



Empat Cara Kelahiran


Ada empat cara kelahiran makhluk hidup yang telah dijelaskan oleh Guru Buddha di dalamMahasihanda Sutta; Majjhima Nikaya 12.



Sariputta, ada empat cara kelahiran. Apakah empat cara kelahiran itu? Kelahiran melalui telur (andaja yoni), kandungan (jalabuja yoni), tempat lembab (samsedaja yoni) dan kelahiran secara spontan (opapatika).
Apakah kelahiran melalui telur? Ada makhluk-makhluk yang lahir dengan memecahkan kulit telur; ini yang disebut kelahiran melalui telur.
Apakah kelahiran melalui kandungan? Ada makhluk-makhluk yang lahir melalui kandungan; ini yang disebut kelahiran melalui kandungan.
Apakah kelahiran pada tempat lembab? Ada makhluk-makhluk yang lahir dalam ikan yang membusuk, mayat yang membusuk, adonan yang membusuk, atau dalam jamban atau dalam saluran air kotor; ini yang disebut kelahiran pada tempat lembab.
Apakah kelahiran secara spontan? Ada dewa-dewa dan penghuni-penghuni neraka dan makhluk manusia tertentu dan para penghuni tertentu dari alam yang tidak menyenangkan, yang lahir (muncul) secara spontan; ini yang disebut kelahiran secara spontan. 
Inilah empat cara kelahiran.”



Alam Kehidupan


Setiap makhluk yang dilahirkan kembali akan terlahir di salah satu dari 31 alam kehidupan sesuai dengan kammanya. Mereka yang cenderung banyak melakukan kamma buruk pada umumnya akan terlahir di alam-alam rendah atau alam penderitaan. Sedangkan mereka yang cenderung banyak melakukan kamma baik pada umumnya akan terlahir di alam-alam tinggi atau alam bahagia.
Secara garis besar 31 alam kehidupan dibagi menjadi lima bagian yaitu: terdapat empat alam kemerosotan (apayabhumi), satu alam manusia (manussabhumi), enam alam dewa (devabhumi), enam belas alam brahma berbentuk (rupabhumi), dan empat alam brahma tanpa bentuk (arupabhumi).



Apayabhumi yang terbentuk dari tiga kosakata, yaitu `apa` yang berarti `tanpa, tidak ada`, `aya` yang berarti `kebajikan`, dan `bhumi` yang berarti `alam tempat tinggal makhluk hidup`. Alam ini juga sering disebut dengan  `duggatibhumi`. `Duggati` terbentuk dari dua kosakata, yaitu `du` yang berarti `jahat, buruk, sengsara`, dan `gati` yang berarti `alam tujuan bagi suatu makhluk yang ajan dilahirkan kembali`. Apayabhumi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan. Apayabhumi terdiri dari empat alam, yaitu: alam neraka (Niraya), alam binatang (Tiracchana), alam setan (Peta), alam iblis (Asurakaya). Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam guggatibhumi secara tidak menyeluruh dan langsung.



Manussabhumi terbentuk dari dua kosakata, yaitu `manussa` dan `bhumi`. `Manussa` terdiri dari dua kosa kata yaitu mano yang berarti `pikiran, batin` dan `ussa` yang berarti `tinggi, luhur, meningkat, berkembang.` Jadi manussabhumi yang berarti alam tempat tinggal manusia. 



Devabhumi disebut juga alam surga. Alam ini merupakan alam dimana makhluk penghuninya hidup dalam kenikmatan inderawi. Tapi meskipun disebut sebagai alam surga, para makhluk yang hidup di alam ini yaitu dewa dan dewi juga hidup dan ketidakekkalan. Alam surga terbagi menjadi enam alam, yaitu: Catumaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita, Nimmanarati, dan Paranimmitavasavatti.



Rupabhumi merupakan alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk. Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus yaitu berhasil mencapai pencerapan Jahna (pemusatan pikiran yang kuat dalam memegang obyek) yang luhur. Alam brahma terdiri dari 16 alam, yaitu: tiga alam bagi peraih jhana pertama (Pathama), tiga alam bagi peraih Jhana kedua (Dutiya), tiga alam bagi peraih Jhana ketiga (Tatiya), dua alam bagi peraih Jhana keempat (Catuttha), dan lima alam Suddhavasa. Alam Suddhavasa merupakan alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari napsu birahi (kamaraga) dan sebagainya, yaitu para Anagami (tingkat kesucian ketiga) yang berhasil meraih pencerapan Jhana kelima.



Arupabhumi merupakan suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma tanpa bentuk.Meskipun disebut sebagai suatu alam yang mengacu pada tempat atau bentuk, namun di sini sesungguhnya sama sekali tidak terdapat unsur jasmaniah/fisik sehalus apa pun dan dalam wujud apapun. Kelahiran di alam brama tanpa bentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang kuat terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tidak menginginkannya.



Menghentikan Kelahiran Kembali



Setelah mencapai Pencerahan Agung, Guru Buddha memekikkan pekik kemenangan, ”Dengan melalui banyak kelahiran Aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan). Terus mencari, namun tak kutemukan pembuat rumah ini. Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang ini.” 



”O pembuat rumah, engkau telah kulihat, engkau tak dapat membangun rumah lagi. Seluruh atapmu telah runtuh dan tiang belandarmu telah patah. Sekarang batinku telah mencapai Keadaan Tak Berkondisi (nibbana). Pencapaian ini merupakan akhir daripada napsu keinginan.”(Dhammapada 153-154)



Bagi mereka yang telah sadar, mencapai Pencerahan Agung dan merealisasikan Kebenaran Tertinggi, kelahiran kembali merupakan suatu proses yang melelahkan dan menyakitkan seperti yang diucapkan oleh Guru Buddha dalam pekik kemenangan tersebut. Oleh karena itu bagi mereka yang telah sadar, mereka akan berusaha melepaskan diri dari proses kelahiran kembali. Dan bagi mereka yang telah mencapai Pencerahan Agung dan merealisasikan Kebenaran Tertinggi (Nibbana), tidak akan lagi mengalami kelahiran kembali.



Sesuai dengan rumusan Hukum Sebab-Musabab Yang Saling Bergantungan(Paticcasamuppada), yang menyatakan bahwa: Dengan adanya ini, maka terjadilah itu, dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu (”Imasming Sati Idang Hoti, Imasming Asati Idang Na Hoti”), maka untuk menghentikan proses menjadi (kelahiran kembali) perlu meniadakan atau melenyapkan penyebab dari proses menjadi tersebut. Penyebab dari proses menjadi tersebut tidak lain adalah Tanha (Keinginan/Kehausan) dan Avijja (Ketidaktahuan/Kebodohan) yang ada pada diri seseorang.



Jalan atau cara melenyapkan Tanha (Keinginan/Kehausan) dan Avijja (ketidaktahuan/kebodohan) adalah dengan melaksanakan sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan) yang terdapat dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga). Dengan menjalankan Jalan Mulia Berunsur Delapan secara sempurna, seseorang bukan hanya nantinya terbebas dari kelahiran kembali, tetapi juga dapat merealisasikan Kebenaran Tertinggi (Nibbana).

Kisah Cakkhupala Thera


Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha.
Malamnya, saat melakukan meditasi jalan kaki, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan bhikkhu yang mendengar kedatangan sang thera bermaksud mengujunginya. Di tengah jalan, di dekat tempat sang thera menginap mereka melihat banyak serangga yang mati. 

"Iiih..., mengapa banyak serangga yang mati di sini?" seru seorang bhikkhu. "Aah, jangan jangan...", celetuk yang lain. "Jangan-jangan apa?" sergah beberapa bhikkhu. "Jangan-jangan ini perbuatan sang thera!" jawabnya. "Kok bisa begitu?" tanya yang lain lagi. "Begini, sebelum sang thera berdiam disini, tak ada kejadian seperti ini. Mungkin sang thera terganggu oleh serangga-serangga itu. Karena jengkelnya ia membunuhinya." 

"Itu berarti ia melanggar vinaya, maka perlu kita laporkan kepada Sang Buddha!" seru beberapa bhikkhu. "Benar, mari kita laporkan kepada Sang Buddha, bahwa Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya", timpal sebagian besar dari bhikkhu tersebut. 

Alih-alih dari mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu berubah haluan, berbondong-bondong menghadap Sang Buddha untuk melaporkan temuan mereka, bahwa "Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya!" 

Mendengar laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya, "Para bhante, apakah kalian telah melihat sendiri pembunuhan itu?" 

"Tidak bhante", jawab mereka serempak. 

Sang Buddha kemudian menjawab, "Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian arahat. Ia telah tidak mempunyai kehendak untuk membunuh." 

"Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?" tanya beberapa bhikkhu. 

Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah ini: 

Pada kehidupan lampau, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita miskin. "Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini. Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang. Tetapi, apabila sembuh, saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan", pinta wanita itu. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib. 

Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Dengan marah-marah ia berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah. 

Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya. Tabib itu menjadi tersinggung dan marah, tetapi tidak diperlihatkan kepada wanita itu. "Oh, kalau begitu akan kuganti obatmu", demikian jawabnya. "Nantikan pembalasanku!" serunya dalam hati. Benar, akhirnya wanita itu menjadi buta total karena pembalasan sang tabib. 

Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya. 

Mengakhiri ceritanya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini: 

"Manopubbangama dhamma
manosettha manomaya
manasa ce padutthena
bhasati va karoti va
tato nam dukkhamanveti
cakkamva vahato padam."
 

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,
pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya,
bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.


Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis "Pandangan Terang" (pati-sambhida).
  
DHAMMAPADA – YAMAKA VAGGA (SYAIR BERPASANGAN)

Jumat, 17 September 2010

Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan

Paticcasamuppada



Ketika Sang Buddha berdiam di Savatthi…” Para bhikkhu, saya  akan dan menganalisa sebab-musabab yang saling bergantungkan kepada kalian.”

”Dan apakah sebab-musabab yang bergantungan itu? Dari ketidaktahuan (avijja) sebagai kondisi penyebab maka muncullah bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara). Dari bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesadaran (vinnana). Dari kesadaran (vinnana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah batin dan jasmani (nama-rupa). Dari batin dan jasmani (nama-rupa) sebagai konsisi penyebab maka muncullah enam indera (salayatana). Dari enam indera (salayatana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesan-kesan (phassa). Dari kesan-kesan (phassa) sebagai kondisi penyebab maka muncullah perasaan (vedana). Dari perasaan (vedana) sebagai konsisi penyebab maka muncullah keinginan/kehausan (tanha). Dari keinginan/kehausan (tanha) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kemelekatan (upadana). Dari kemelekatan (upadana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah proses kelahiran kembali (bhava). Dari proses kelahiran kembali (bhava) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelahiran kembali (jati). Dari kelahiran kembali (jati) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelapukan dan kematian, duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jaramaranang). Demikianlah penyebab dari seluruh kesusahan dan penderitaan.”

(Paticca-samuppada-vibhanga Sutta; Samyutta Nikaya 12.2 {S 2.1})

Paticcasamuppada atau hukum sebab-musabab yang saling bergantungan merupakan salah satu ajaran yang terpenting dalam Buddha Sasana. Paticcasamuppada adalah suatu ajaran yang menyatakan adanya sebab-musabab yang terjadi dalam kehidupan semua makhluk, khususnya manusia. Dengan menganalisa dan merenungkan Paticcasamuppada inilah, Petapa Gotama akhirnya mencapai Penerangan Sempurna menjadi Buddha. 

Dalam kotbahNya di dalam Maha-hatthipadopama Sutta; Majjhima Nikaya 28, Y.A. Sariputta, menyampaikan bahwa Sang Buddha mengatakan betapa pentingnya Paticcasamuppada,  Yo paticcasamuppadam passati, so Dhammam passati. Yo Dhammam passati, so paticcasamuppadam passati.” (Ia yang melihat Paticcasamuppada, juga melihat Dhamma. Ia yang melihat Dhamma, juga melihat Paticcasamuppada) - 

Secara sederhana Paticcasamuppada yang juga merupakan hukum sebab akibat yang dapat dipahami dengan rumusan seperti di bawah ini:
  • Imasming Sati Idang Hoti
    Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
  • Imassuppada Idang Uppajjati
    Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu.
  • Imasming Asati Idang Na Hoti
    Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
  • Imassa Nirodha Idang Nirujjati.
    Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.
Dengan menganalisa rumusan atau prinsip yang saling menjadikan, relatifitas, dan saling bergantungan ini, maka dapat ditemukan 12 sebab-musabab (nidana) yang ada dalam setiap makhluk khususnya manusia. Keduabelas nidana itu yaitu:
  1. Avijja Paccaya Sankharang
    Dengan adanya Avijja (ketidaktahuan/kebodohan), maka muncullah
    Sankhara (bentuk-bentuk perbuatan/kamma).
  2. Sankhara Paccaya Vinnanang
    Dengan adanya Sankhara (bentuk-bentuk perbuatan/kamma), maka muncullah
    Vinnana (kesadaran).
  3. Vinnana Paccaya Nama-Rupang
    Dengan adanya Vinnana (kesadaran), maka muncullah
    Nama-Rupa (batin dan jasmani).
  4. Nama-Rupa Paccaya Salayatanang
    Dengan adanya Nama-Rupang (batin dan jasmani), maka muncullah
    Salayatana (enam indera).
  5. Salayatana Paccaya Phassa
    Dengan adanya Salayatana (enam indera), maka muncullah
    Phassa (kesan-kesan).
  6. Phassa Paccaya Vedana
    Dengan adanya Passa (kesan-kesan), maka muncullah
    Vedana (perasaan)
  7. Vedana Paccaya Tanha
    Dengan adanya Vedana (perasaan), maka muncullah
    Tanha (keinginan/kehausan).
  8. Tanha Paccaya Upadanang
    Dengan adanya Tanha (keinginan/kehausan), maka muncullah
    Upadana (kemelekatan).
  9. Upadana Paccaya Bhavo
    Dengan adanya Upadana (kemelekatan), maka muncullah
    Bhava (proses tumimbal lahir).
  10. Bhava Paccaya Jati
    Dengan adanya Bhava (proses tumimbal lahir), maka muncullah
    Jati (kelahiran kembali).
  11. Jati Paccaya Jaramaranang
    Dengan adanya Jati ( kelahiran kembali), maka muncullah
    Jaramaranag
     (kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit, dan sebagainya).
  12. Jaramaranang 
    Kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit, dan sebagainya merupakan akibat dari adanya kelahiran kembali.
Kemudian dalam Paticca-samuppada-vibhanga Sutta; Samyutta Nikaya 12.2, juga dijelaskan dengan terhentinya dan tidak munculnya salah satu penyebab yaitu Avijja(ketidaktahuan/kebodohan), maka terhenti dan tidak muncul pula sebab-musabab yang mengikutinya. Dengan terhentinya Avijja maka tidak akan muncul Sankhara, Vinnana, Nama-Rupa, Salayatana, Phassa, Vedana, Tanha, Upadana, Bhava, Jati, dan Jaramaranang.

Dalam kehidupan sehari-hari kita, yaitu dalam diri kita sendiri, kita dapat menemukan dan menganalisa sebagian dari Hukum Paticcasamuppada. Sebagai contoh, diuraikan dibawah ini.

Kita dilahirkan di dunia ini dengan memiliki jasmani dan batin/pikiran. Dengan menganalisa kita dapat memahami bahwa kita memiliki tubuh yang bermateri yang sifatnya adalah kasatmata. Kita memiliki kepala, tubuh, kedua tangan dan kaki dan lain sebaginya. Kemudian kita menganalisa bahwa kita dapat berpikir, memiliki kehendak, maka dengan demikian itu berarti kita memiliki batin atau pikiran yang sifatnya tidak kasatmata. Pada tahap ini, kita telah menganalisa tentang keberadaan nidana no.4 mengenai keberadaan Nama-Rupa (jasmani dan batin).

Kemudian dengan adanya jasmani dan batin pada umumnya kita memiliki indera antara lain, indera penglihatan (mata), indera pendengaran (telinga), indera pengecap (lidah), indera penciuman (hidung), indera peraba/sentuhan (kulit) dan indera pikiran. Dengan indera-indera ini kita dapat melihat bentuk dan warna, mendengar suara, merasakan rasa, merasakan aroma/bau, merasakan tekstur, lembut dan kasar. Pada tahap ini, kita telah menganalisa tentang keberadaan nidana no.5 mengenai keberadaan Salayatana (6 indera).

Dengan memiliki indera, kita dapat mengalami berbagai kesan-kesan. Kita bisa melihat bentuk dan warna yang memberi kesan indah atau buruk, suara yang merdu atau sumbang, rasa yang lezat atau tidak, aroma yang harum atau bau busuk, merasakan kelembutan atau kekasaran. Pada tahap ini, kita telah menganalisa tentang keberadaan nidana no.6 mengenai keberadaanPhassa (kesan-kesan).

Setelah kita memiliki kesan-kesan terhadap sesuatu melalui indera kita, kemudian kita mulai merasakan dan memisahkan mana yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Kita merasa senang dengan bentuk dan warna yang indah dan menolak bentuk-bentuk yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Kita merasa senang dengan suara-suara yang merdu dan nyaman di telinga kita dan menolak suara yang tidak merdu, kita merasa senang dengan rasa yang nikmat, aroma yang harum dan merasa tidak senang dengan rasa yang tidak enak dan aroma yang berbau busuk. Pada tahap ini, kita telah menganalisa tentang keberadaan nidana no.7 mengenai keberadaan Vedana (perasaan).

Ketika perasaan, baik perasaan yang menyenangkan ataupun perasaan yang tidak menyenangkan telah muncul, bagi kita yang belum sadar, kita terlena dengan perasaan-perasaan tersebut. Kita terlena pada perasaan yang menyenangkan sehingga kita menginginkan terus sesuatu yang membuat perasaan senang tersebut muncul. Inilah nidana no.8 yaitu Tanha (keinginan/kehausan). 

Keinginan kita untuk terus menerus memiliki, menikmati, memeluk erat, tidak ingin kehilangan, tidak ingin berpisah atau berjauhan dari sesuatu yang membuat perasaan kita senang, membuat diri kita tidak bisa melepaskannya, tidak merelakan jika sesuatu itu harus hilang, pergi, menjauh dari diri kita. Inilah nidana no.9 yaitu Upadana (kemelekatan).

Dengan munculnya kemelekatan pada pikiran kita, maka kita tidak bisa terlepas dari Bhava(proses kelahiran kembali). Hal ini dapat digambarkan sebagai seseorang yang kembali lagi dan lagi ke sebuah restoran yang menyajikan makanan kesukaannya. Hanya dengan menghentikan kemelekatan akan hidup dan kehidupan maka kita dapat menghentikan proses kelahiran kembali.

Selasa, 14 September 2010

Meditasi

I . Pengertian Meditasi

Meditasi adalah Praktik relaksasi yang melibatkan pengosongan pikiran dari semua hal yang menarik, membebani, maupun mencemaskan dalam hidup kita sehari-hari. Dengan kata lain, meditasi melepaskan kita dari penderitaan pemikiran baik dan buruk yang sangat subjektif yang secara proporsional berhubungan langsung dengan kelekatan kita terhadap pikiran dan penilaian tertentu. Kita mulai paham bahwa hidup merupakan serangkaian pemikiran, penilaian, dan pelepasan subjektif yang tiada habisnya yang secara perlahan mulai kita lepaskan .
Dalam keadaan pikiran yang bebas dari aktivitas berpikir, ternyata manusia tidak mati, tidak juga pingsan, dan tetap sadar. Guru terbaik untuk meditasi adalah pengalaman . Tidak ada guru, seminar, atau buku-buku meditasi yang dapat mengajarkan secara pasti bagaimana seharusnya kita melakukan hidup bermeditasi. Setiap orang dapat secara bebas memberikan nilai-nilai tersendiri tentang arti meditasi bagi kehidupannya. Oleh karena hanya dengan mempraktekkan meditasi dalam hidup, orang bisa merasakan manfaat suatu perjalanan meditasi.

Ada banyak arti tentang meditasi, di antaranya adalah:
1.    Meditasi adalah jalan untuk masuk dalam kesadaran jiwa.
2.    Meditasi adalah jalan untuk introspeksi diri.
3.    Meditasi adalah jalan untuk berkomunikasi dengan sang pencipta.
4.    Meditasi adalah jalan untuk mengubah hidup anda.
5.    Meditasi adalah jalan untuk meraih ketenangan batin.


II . Manfaat Meditasi

Meditasi sering diartikan secara salah, dianggap sama dengan melamun sehingga meditasi dianggap hanya membuang waktu dan tidak ada gunanya . Meditasi justru merupakan suatu tindakan sadar karena orang yang melakukan meditasi tahu dan paham akan apa yang sedang dia lakukan. Manfaat meditasi yang kita lakukan bisa secara langsung maupun tidak langsung kita rasakan secara fisik . Salah satu manfaat tersebut adalah kesembuhan yang kita peroleh, jika kita menderita sakit tertentu . Dari sudut pandang fisiologis, meditasi adalah anti-stres yang paling baik . Saat anda mengalami stres, denyut jantung dan tekanan darah meningkat, pernapasan menjadi cepat dan pendek, dan kelenjar adrenalain memompa hormon-hormon stress . Selama anda melakukan meditasi, detak jantung melambat, tekanan darah menjadi normal, pernapasan menjadi tenang, dan tingkat hormon stres menurun. Selama meditasi, lama-kelamaan Anda bisa mendengarkan denyutan jantung, bahkan lebih lanjut lagi Anda dapat mengkoordinasikan irama denyut jantung dengan irama keluar masuknya nafas . Di masa lalu testimoni mengenai manfaat meditasi datang hanya dari orang-orang yang mempraktikkan meditasi, saat ini ilmu pengetahuan menunjukkan manfaat meditasi secara objektif . Riset atas para pendeta oleh Universitas Wisconsin menunjukkan bahwa praktik meditasi melatih otak untuk menghasilkan lebih banyak gelombang Gamma, yang dihasilkan saat orang merasa bahagia . Dari penelitian terungkap bahwa meditasi dan cara  relaksasi  lainnya bermanfaat untuk mengatasi gangguan  fungsi ginjal  dengan meningkatkan produksi melatonin dan serotonin serta menurunkan hormon streskortisol .  Dr. Herbert Benson, seorang ahli jantung dari Universitas Harvard, adalah orang pertama yang dengan penuh keyakinan menggabungkan manfaat meditasi dengan pengobatan gaya barat . Secara ilmiah, ia menjelaskan manfaat-manfaat dari meditasi yang telah dipraktikkan orang selama berabad-abad .

Manfaat meditasi :
§         Apabila anda secara rutin melakukan meditasi, organ-organ tubuh dan sel tubuh akan mengalami keadaan baik dan bekerja lebih teratur.
§         Mampu mengatur dan mengendalikan orang lain serta memaafkannya.
§         Mampu mengerti orang lain dan memaafkannya.
§         Selalu bertekun dalam hidup yang baik, sebagai pembawa berkat bagi sesama.
§         Mampu menerima suka dan duka, kesulitan, dan kebaikan hidup dengan baik.


III . Cara Melakukan Meditasi


Meditasi itu alami, organis, dan bukan barang impor, Ada banyak cara untuk bermeditasi, termasuk meditasi sebagai gerakan atau tarian dan meditasi atas  bunyi, musik, dan  imajeri visual. Ada yang melakukannya sambil bervisualisasi, ada yang melakukannya sambil berkontemplasi ke dalam sebuah konsep (misalnya tentang cinta, kasih sayang, persahabatan, atau Tuhan), ada yang melakukannya sambil merapal mantra atau melakukan afirmasi (meneguhkan diri dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang dapat memberikan motivasi), ada yang melakukannya sambil memandangi cahaya lilin, dan ada juga yang bermeditasi sambil mempertajam sensitivitas indra tubuh dan menghayatinya. Untuk melakukan meditasi, Anda harus dapat menurunkan frekuensi gelombang otak terlebih dulu dengan cararelaksasi . Kenali irama gelombang yang mengalir yang sering mengacaukan peningkatan kesadaran dalam meditassi agar dapat menemukan cara yang khas untuk membuatnya menjadi selaras . Ada banyak buku menarik mengenai teknik bermeditasi, tapi berikut dasar-dasarnya :
§         Cari tempat yang tenang.
§         Kenakan pakaian yang longgar dan nyaman.
§         Bagi sebagian orang duduk bersila terasa tenang. Anda boleh duduk di atas bantalan atau handuk. Anda juga bisa menggunakan kursi, tapi usahakan duduk hanya pada setengah bagian depan kursi. Ada orang-orang yang suka memakai handuk atau syal pada bahu untuk mencegah kedinginan.
§         Bahu Anda harus rileks dan tangan diletakkan di pangkuan.
§         Buka mata setengah tanpa benar-benar menatap apa pun.
§         Jangan berusaha mengubah pernapasan Anda biarkan perhatian Anda terpusat pada aliran napas. Tujuannya adalah agar kehebohan dalam pikiran Anda perlahan menghilang.
§         Lemaskan setiap otot pada tubuh Anda. Jangan tergesa-gesa, perlu waktu untuk bisa rileks sepenuhnya; lakukan sedikit demi sedikit, dimulai dengan ujung kaki dan terus ke atas sampai kepala.
§         Visualisasikan tempat yang menenangkan bagi Anda. Bisa berupa tempat yang nyata atau khayalan.

Waktu yang baik untuk melakukan meditasi adalah antara pukul 02.00-04.00 dini hari atau subuh. Namun, jika waktu tersebut tidak memungkinan maka dapat dipilih waktu yang cocok tanpa gangguan saat melakukan meditasi.
Selamat Mencoba...

Minggu, 12 September 2010

Roda Perenungan I

Ini merupakan perenungan yang sekiranya bisa kita rasakan dalam batin kita, agar didalam pikiran kita timbul rasa kasih sayang dan cinta kasih terhadap mahluk hidup dan seluruh isi dunia, sambil mengucapkan kata :

SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA 
(semoga semua mahluk berbahagia)


KISAH SEPASANG BURUNG 


Pasangan jantannya membawakan makanan kepada sang betina dengan kasih sayang dan haru



Ketika sang jantan sedang memberi makan kepadanya, tak lama kemudian sang betina mati terkulai. Sang jantan sangat terpukul dan berusaha mengangkatnya


Sang burung jantan akhirnya menyadari bahwa pasangan yang dicintainya telah mati. Ia kemudian “menangis” di hadapan pujaannya yang telah terkapar mati kaku


Sambil berdiri di samping tubuh sang burung betina, sang jantan kemudian “berteriak” dengan suara yang sangat menyedihkan


Akhirnya sang burung jantan menyadari bahwa pasangan yang dicintainya telah meninggalkannya dan tak akan bisa hidup kembali bersamanya. Ia berdiri disamping tubuh sang betina dengan sedih dan duka yang mendalam.



CINTA KASIH TERHADAP MAHLUK HIDUP DI SEGENAP ALAM
PATUT DIKEMBANGKAN TANPA BATAS DALAM BATIN
BAIK KE ARAH ATAS,BAWAH,DAN DIANTARANYA
TIDAK SEMPIT,TANPA KEDENGKIAN,TANPA PERMUSUHAN



Agama Buddha dan Agama Islam

            Banyak orang bertanya-tanya, apakah benar ada hubungan antara kedua agama ini dalam sejarah dunia? Kalau ada, bagaimanakah hubungan tersebut? Oleh karena itu marilah kita bahas pertanyaan tersebut.

 Sang Buddha dalam Al Quran.

Tidak ada kata-kata “Buddha” dalam Al Quran, namun para sejarawan dan peneliti mengaitkan beberapa ayat Al-Quran dengan Sang Buddha.

Demi (pohon) Tin (fig) dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
(Quran Surat at-Tin (95) : 1)

Buah Zaitun melambangkan Yerusalem, Yesus dan Kristianitas. Bukit Sinai melambangkan Musa dan Yudaisme. Kota Mekah menyimbolkan Islam dan Muhammad. Lantas pohon Tin (fig) melambangkan apa?

Tin = fig = Pohon Bodhi.

Pohon Bodhi adalah tempat Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna.

Ada penafsir-penafsir zaman sekarang sebagaimana disebutkan oleh al-Qasimi di dalam tafsirnya berpendapat bahwa sumpah Allah dengan buah tin yang dimaksud ialah pohon Bodhi. Prof. Hamidullah juga mengatakan bahwa perumpamaan pohon (buah) tin (fig) di dalam Quran ini merepresentasikan Sang Buddha, sehingga menunjukkan bahwa Sang Buddha diakui sebagai nabi di dalam agama Islam.

Hamid Abdul Qadir, sejarawan abad 20 mengatakan dalam bukunya :
“Buddha Yang Agung: Riwayat dan Ajarannya” (Arabic: Budha al-Akbar Hayatoh wa Falsaftoh), bahwa Sang Buddha adalah nabi Dhul Kifl, yang berarti “ia yang berasal dari Kifl”. Nabi Dhul Kifl disebutkan 2 kali dalam Quran:

Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli (Dhul Kifl). Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.
QS. al-Anbiya (21) : 85

Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa, dan Dzulkifli (Dhul Kifl). Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik
QS. Shad (38) : 48
“Kifl” adalah terjemahan Arab dari Kapilavastu, tempat kelahiran Sang Bodhisattva.

Mawlana Abul Azad, teolog Muslim abad 20 juga menekankan bahwa Dhul Kifl dalam Al Quran bisa saja adalah Buddha.

Pandangan para tokoh Muslim pada Sang Buddha dan Teks-teks Buddhis di Dunia Muslim

Sejarawan Muslim yang terkenal, Abu Rayhan Al-Biruni (973–1048) yang pergi ke India dan menetap di sana selama 13 tahun untuk mengenal bangsa India dan mempelajari teks-teks Sansekerta mendefinisikan Sang Buddha sebagai seorang nabi. Pada waktu dinasti Ghaznavid, sejarawan Persia Al Biruni menemani Mahmud dari Ghazni pada abad 11 M di mana Mahmud menyerang India. Dalam buku Sejarah India (Kitab al-Hind) yang ditulisnya, Al Biruni memuji Sang Buddha dan ajarannya. Al Biruni juga menulis sebuah teks yang berkisah tentang ukiran Buddha di Bamiyan.

Ibn al-Nadim (995 M), penulis kitab Al-Fihrist, berkata:
Orang-orang ini (Buddhis di Khurasan) adalah yang paling dermawan di antara seluruh penghuni bumi dan semua kaum agama. Ini dikarenakan nabi mereka, Budhasaf (Bodhisattva) telah mengajarkan pada mereka bahwa dosa yang terbesar, di mana tidak diperbolehkan untuk berpikir atau melakukan, adalah perkataan “tidak”. Maka dari itu mereka bertindak sesuai anjuran-Nya dan mereka menmganggap perkataan “tidak” sebagai tindakan Satan. Inti ajaran agama mereka (Buddha) adalah untuk membasmi Satan.

Sejarawan Muslim bernama Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir al-Tabari (839-923 M), menyebutkan bahwa rupang-rupang Buddha dibawa dari Kabul, Afghanistan ke Baghdad pada abad ke-9 M. Juga dilaporkan bahwa rupang-rupang Buddha dijual di sebuah vihara Buddhis dekat masjid Makh di pasar kota Bukhara (Uzbekistan).

Pada abad ke-9 M, seorang dari Baghdad menterjemahkan kisah Sang Buddha ke dalam bahasa Arab yaitu dalam Kitab al Budasaf wa Balawhar yaitu “Buku Bodhisattva dan (gurunya) Balawhar” yang ditulis Aban Al-Lahiki (750-815 M) di Baghdad. Teks ini kemudian diterjemahkan lagi dalam bahasa Yunani dan Georgia, terkena pengaruh Kristiani dan akhirnya menjadi Kisah St. Barlaam dan Josaphat.

Catatan sejarah Muslim tentang agama Buddha dapat ditemukan di Kitab al-Milal wa Nihal yang berarti “The Book of Confessions and Creeds” yang ditulis oleh Muhammad al-Shahrastani (1076–1153 M) di Baghdad pada masa Dinasti Seljuk. Kitab sejarah yang ditulis oleh Al-Shahrastani tersebut adalah kitab yang paling akurat dalam dunia pendidikan Muslim ketika menjelaskan agama Buddha di India. Al-Shahrastani menjelaskan agama Buddha sebagai agama “pencarian kebenaran dengan kesabaran, memberi dan ketidakmelekatan” yang “dekat dengan ajaran Sufi (mistisisme Islam)”

Al-Shahrastani memperbandingkan Sang Buddha dengan Al Khidr (Eliyah), tokoh dalam Al-Quran, sebagai dua orang yang sama-sama mencari pencerahan. Al-Shahrastani juga memperbadningkan Buddha dengan Bodhisattva (Budhasf). Ia memberikan catatan yang mendeskripsikan penampilan dari para Buddhis (asahb al bidada) di India dan memberikan perhatian yang lebih tentang agama Buddah di India beserta ajaran-ajarannya.

Di dalam dunia Arab, juga muncul kitab riwayat Buddha yang bernama Kitab Al-Budd. Kitab Al-Budd ini didasarkan atas kitab Jatakamala dan Buddhacarita.

Pada abad ke-8 M, Caliph al-Mahdi, dan Caliph al-Rashid mengundang para pelajar Buddhis dari India dan Nava Vihara di Balkh ke “Rumah pengetahuan” (Bayt al-Hikmat) di Baghdad. Ia memerinathkan para pelajar Buddhis untuk membantu penerjemahan teks-tkes pengobatan dan astronomi dari Sansakerta ke bahasa Arab. Ibn al-Nadim pada abad ke 10 M, Buku Katalog (Kitab al-Fihrist), juga memberikan daftar teks-teks Buddhis yang diterjemahkan dan ditulis dalam bahasa Arab pada masa itu, seperti Kitab Al-Budd (Buku Sang Buddha).

Keluarga Barmakid mempunyai pengaruh di istana Abbasid sampai pada pemerintahan Caliph Abbasid yang keempat, Harun al-Rashid (r. 786-809 M) dan perdana menterinya yaitu Yahya ibn Barmak adalah cucu Muslim dari salah satu kepala administrator Buddhis dari Nava Vihara di Balkh, Afghanistan. Yahya mengundang para pelajar Buddhis, terutama dari Kashmir untuk datang ke “Rumah pengetahuan” di Baghdad. Tidak ada kitab-kitab ajaran Buddha yang diterjemahkan dari Sansekerta ke bahasa Arab. Namun lebih fokus terhadap penterjemahan teks-teks pengobatan Buddhis seperti Siddhasara yang ditulis Ravigupta.

Penulis Umayyad Arab yang bernama Umar ibn al-Azraq al-Kermani tertarik untuk menjelaskan agama Buddha pada penonton Islam. Pada permulaan abad ke-8 M, ia menulis sebuah catatan yangs angat detail tentang Nava Vihara di Balkh, Afghanistan dan tradisi Buddhis di sana. Ia menjelaskan dengan memperlihatkan kesamaannya dengan agama Islam. Maka dari itu ia mendeskripsikan vihara tersebut sebagai sebuah tempat yang di tengahnya terdapat kotak batu (stupa) yang ditutupi kain dan para umat bersujud dan bernamaskara, mirip seperti Kabah di Mekah. Tulisan-tulisan Al-Kermani tersimpan dalan karya abad 10 M yaitu dalam “Buku Lahan” (Kitab al-Buldan) yang ditulis oleh Ibn al-Faqih al-Hamadhani.

Al-Ihranshahri (abad 9 -10 M) memberikan detail kosmologi Buddhis namun hilang dan beberapa digunakan oleh Al-Biruni. Penulis Kitab al-bad wa-‘l-ta’ rich yang ditulis pada tahun 966 M mendeskripsikan tentang ajaran Buddha tentang kelahiran kembali.

Ibn al Nadim menyebut Budhasf (Bodhisattva) sebagai nabi darti Sumaniyya (Sramana) yang berarti para bhiksu Buddhis. Sujmaniyya ini dijelaskan oleh kaum Muslim sebagai masyarakat agama yang tinggal di Timur sebelum kedatangan agama-agama yang diwahyukan, yang berarti di Negara Iran sebelum kemunculan Zarathustra, India dan Tiongkok. Agama Buddha sebagai Sumaniyya dijelaskan oleh umat Muslim pada saat itu sebagai agama penyembah berhala dan penganut paham kekekalan, kosmologi particular dan tumimbal lahir (tanasukh al-arwah). Agama Sumaniyya juga dideskripsikan sebagai agama yang skeptis, menolak argument (nazar) dan pemikiran logis (isitidlal). Klaim ini sungguh aneh, karena agama Buddha tidak menolak argument sama sekali, bahkan dalam agama Buddha ditekankan pemikiran yang logis.

Catatan Kamalashri tentang agama Buddha, ada di bagian akhir Jami al-Tawarikh atau Sejarah Dunia dari Rashid al-Din (1247 - 1318), yang mendeskripsikan secara menyeluruh, dan karya tulis ini ditulis oleh seorang Buddhis dengan menunjukkan banyak aspek-aspek legendaris.