Selasa, 18 Januari 2011

Buddhisme di Jepang

Sejarah perkembangan ajaran Buddha di Jepang dapat dibagi ke dalam tiga periode: periode Nara (hingga 784), periode Heian (794-1185), dan pasca-periode Heian (tahun 1185 hingga sekarang). Pada masing-masing periode diperkenalkan ajaran-ajaran baru dan terjadi pasang-surut pada masing-masing sekte.
Pada zaman modern, aliran Buddhisme yang populer adalah Jōdokyō, Buddhisme Nichiren, Shingon, dan Zen.
Asal kata untuk Buddhisme dalam aksara kanji, bukkyō (仏教?) berasal dari (butsu, Buddha) dan (kyō, keyakinan, kepercayaan)


Agama Buddha diperkenalkan di Jepang pada abad ke-6 setelah ketika para bhiksu Cina melakukan perjalanan ke Jepang sembari membawa banyak kitab-kitab suci dan karya seni. Agama Buddha lalu dipeluk menjadi agama negara pada abad selanjutnya.
Karena secara geografis terletak pada ujung Jalur Sutra, Jepang bisa menyimpan banyak aspek agama Buddha ketika agama ini mulai hilang dari India dan ditindak di Asia Tengah serta Tiongkok.
Dari kurang lebih tahun 710 banyak sekali kuil dan vihara dibangun di ibu kota Nara, seperti pagoda lima tingkat dan Ruang Emas Horyuji, atau kuil Kofukuji. Banyak sekali lukisan dan patung dibuat sampai tak terhitung dan seringkali dengan sponsor pemerintah. Pembuatan seni Buddha Jepang mencapai masa keemasan antara abad ke-8 dan abad ke-13 semasa pemerintahan di Nara, Heian-kyō, dan Kamakura.
Dari abad ke-12 dan abad ke-13, perkembangan lebih lanjut ialah seni Zen, mengikuti perkenalan aliran ini oleh Dogen dan Eisai setelah mereka pulang dari China. Seni Zen sebagian besar memiliki ciri khas lukisan asli (seperti sumi-e dan ensō) dan puisi (khususnya haiku). Seni ini berusaha keras untuk mengungkapkan intisari sejati dunia melalui gaya impressionisme dan gambaran tak terhias yang tak "dualistik". Pencarian untuk penerangan "sesaat" juga menyebabkan perkembangan penting lain sastra derivatif seperti upacara minum teh atau ikebana. Perkembangan ini sampai sejauh pendapat bahwa setiap kegiatan manusia merupakan sebuah kegiatan seni sarat dengan muatan spiritual dan estetika, pertama-tama apabila aktivitas itu berhubungan dengan teknik pertempuran (seni beladiri).
Agama Buddha sampai sekarang tetap masih aktif di Jepang. Sekitar 80.000 kuil-kuil Buddha masih dipelihara secara teratur.

Sabtu, 08 Januari 2011

Simbol dhamma pada altar Buddha


Apabila kita mencermati altar Buddha Gotama yang terdapat di Ârâma, Vihâra, Cetiya ataupun di rumah-rumah umat Buddha (yang berpedoman pada Kitab Suci Tipitaka, maka akan ditemui benda-benda yang terdapat di atas altar tersebut adalah Buddharûpam (atau Arahattarûpam) tidak wajib ada  dan Âmisa-pûjâ (benda-benda persembahan). Benda-benda persembahan yang terdapat dalam altar di antaranya : air, dupa/gaharu atau hio, pelita/ lampu/lilin, dan bunga, sedangkan makanan serta buah-buahan merupakan benda persembahan yang tidak wajib.
Buddharûpam / Arca Buddha (atau Arahattarûpam) bukanlah sebagai objek pemujaan yang kepada-Nya kita memohon dan meminta sesuatu (apakah supaya menjadi kaya, banyak rezeki, usaha lancar, penyakit dapat disembuhkan, menginginkan anak sesuai dengan apa yang diharapkan maupun berjodoh) atau pun sebagai sasaran untuk mengadu segala keluh kesah yang dihadapi oleh manusia atau sebagai tempat untuk meminta ampun atas segala kesalahan yang telah dilakukan atau pun meminta bantuan/pertolongan.Namun dapat dijadikan sebagai tempat menyatakan tekad atau ber-aditthana untuk menjadi upâsaka atau upâsikâ, sâmanera, bhikkhu, dan untuk berbuat baik. Buddharûpam merupakan simbol dari bukti nyata bahwa ada seorang manusia yang telah mencapai Penerangan Sempurna yang telah membabarkan Dhamma yang mulia, yang indah pada awalnya, yang indah pada pertengahannya, dan indah pula pada pengakhirannya (Yo Dhammam desesi âdikalyânam majjhekalyânam pariyosânakalyânam). Beliau adalah Guru Agung umat manusia yang memiliki kebijaksanaan agung (Mahâ Paññâ), kesucian yang luhur (Mahâ Parisuddhi), dan welas asih yang universal (Mahâ Karunâ) yang telah dikembangkan dan diwujudkan dalam kehidupan-Nya. Hal tersebut dilakukan selama 45 tahun setelah Beliau mencapai Penerangan Sempurna; Nibbâna melalui pembabaran Dhamma yang dilakukan-Nya terus-menerus dengan jadwal sehari-hari yang sangat padat. Bahkan Beliau hanya tidur satu jam setiap harinya. Perjuangan dan pengorbanan Beliau-lah yang membuat manusia menjadikan sosok Buddha sebagai kiblat atau sebagai fokus yang diletakkan di atas altar. Buddharûpam sesungguhnya bukanlah objek yang wajib, karena tanpa Buddharûpam umat Buddha dapat melakukan aktivitas Dhamma di dalam kehidupan sehari-hari detik per detik. Praktik Dhamma adalah yang utama. Buddha sendiri menyarankan agar Bhikkhu Ânanda menasihati Upâsaka Anathapindika melakukan penghormatan kepada Bodhirukkha / pohon Bodhi ketika Beliau tidak berada di tempat. Hal ini disampaikan oleh Buddha berkaitan dengan pertanyaan yang disampaikan oleh Upâsaka Anathapindika kepada Bhikkhu Ânanda mengenai penghormatan yang seharusnya dilakukan apabila Buddha Gotama tidak berada di Jetavanârâma. Dengan demikian merupakan pernyataan yang salah (kalau boleh dikatakan orang yang menyatakan tersebut tidak mengerti Dhamma dengan benar dan jelas) apabila dinyatakan bahwa umat Buddha menyembah BERHALA. Karena umat Buddha yang benar adalah umat Buddha yang melakukan pujabhatti dengan menguncar ulang apa yang telah disampaikan oleh Buddha. Seyogianya umat tidak melakukan permohonan atau pun permintaan apa-apa. Sesungguhnya Buddharûpam digunakan sebagai :

1. Lambang penghormatan sebagai tanda terima kasih dan anumodâna atas segala upaya Beliau mencapai Penerangan Sempurna sehingga sampai hari ini banyak umat yang tertolong dan terbantu dengan Dhamma yang telah Beliau uraikan.

2. Sarana atau alat/objek untuk bermeditasi karena keagungan, kemuliaan, dan cinta kasih yang universal yang Beliau pancarkan. Dengan melihat rûpam-Nya saja (apabila dalam pembuatannya sesuai dengan Dhamma dan Vinaya), kita telah dapat merasakan kebahagiaan, kedamaian, dan ketentraman serta segan atas dedikasi dan wibawa, juga kharima Beliau. Hal ini-lah yang dijadihan perenungan dari Buddharûpam. Bukan karena sebagai sosok manusia, maka kita memohon-mohon layaknya para pengemis jalanan mengemis makanan atau uang sebagai tanda berbelas kasihan. Secara Dhamma, umat tidak dapat meminta dan memohon sesuai dengan apa yang dikehendaki dan diingini, karena tanpa menciptakan sebab maka tidak akan ada akibat yang diterima.

3. Visi kedepan umat Buddha. Buddha adalah gelar kesucian yang diberikan kepada Pertapa Gotama (adalah Pangeran Siddhattha Gotama anak dari Raja Sudodhana dan Ratu Mahâ Maya yang memerintah Kerajaan Kapilavatthu) karena Beliau telah mencapai Penerangan Sempurna di bawah Pohon Bodhi. Tujuan Pangeran Siddhattha Gotama meninggalkan istana yang megah dan penuh dengan kebahagiaan duniawi adalah untuk membebaskan diri dari dukkha karena mengalami kelahiran, kelapukan, dan kematian. Jadi dengan melihat Buddharûpam, maka dalam diri kita timbul pemahaman bahwa suatu saat nanti saya sebagai murid/siswa Beliau akan mencapai Nibbâna. Inilah sebenarnya tujuan akhir dari setiap umat Buddha. Sementara tujuan jangka pendeknya adalah hidup berbahagia di dunia ini, dan tujuan jangka menengahnya adalah meninggal dunia akan terlahir di alam Surga yang penuh dengan kebahagiaan.
Âmisa-pûjâ (benda-benda persembahan) yang dipersembahkan di atas altar Buddha bukanlah sebagai persembahan yang diberikan kepada Buddha agar Beliau menikmatinya. Pengertian demikian adalah sangat tidak tepat dan boleh dikatakan SALAH BESAR. Dengan demikian apakah makna dari simbolik tersebut ? Berikut akan dijelaskan satu persatu dari keempat persembahan wajib dan satu merupakan persembahan tambahan yang terjadi belakangan. Âmisa-pûjâ (benda-benda persembahan) adalah :

1. Air, melambangkan kesucian, kesetiaan, dan kejujuran. Air berguna untuk membersihkan sesuatu, segala sesuatu yang terdapat dalam air ataupun warna yang ditaruh ke dalam air dapat kelihatan dengan jelas, dan air sifatnya dapat menyesuaikan diri dengan wadahnya serta selalu mencari tempat yang rendah. Jadi dengan melihat air yang dipersembahkan di atas altar Buddha, maka menimbulkan pemahaman bagi kita bahwa Dhamma dapat berguna untuk membersihkan kekotoran batin baik yang kasar (Lobha / keserakahan, Dosa / kebencian atau dendam, Moha / ketidaktahuan) dan yang halus (Kâmâsava / kekotoran batin yang berasal dari nafsu indera, Bhavâsava / keinginan untuk hidup, Ditthâsava / pandangan salah, Avijjâsava / kegelapan batin), orang yang melakukan kesalahan dan pelanggaran Dhamma dapat diketahui, orang yang mengerti Dhamma dapat menempatkan diri di mana pun mereka berada, orang yang mengerti Dhamma adalah orang yang rendah hati, tiada angkuh dan tiada sombong. Pada saat akan mempersembahkan air di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat : ”Kami persembahkan air yang melambangkan kesucian, kesetiaan, dan kejujuran ini di atas altar Buddha. Semoga demikianlah kami dalam menjalani kehidupan ini dengan meningkatkan kesucian batin, kesetiaan, dan kejujuran kami.”

2. Dupa/gaharu atau hio, melambangkan harumnya Dhamma. Bila dupa tidak disulut, maka harumnya tidak menyebar ke berbagai penjuru. Akan tetapi, apabila dupa disulut, maka harumnya akan menyebar ke mana-mana ke segala penjuru. Demikianlah halnya dengan Dhamma ajaran mulia Bhagavâ, apabila kita melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari, maka pelaksana Dhamma akan selalu harum namanya, penuh dengan pujian dan penghargaan yang diberikan orang atau pihak lain. Setiap umat memohon tuntunan Pernaungan dan Lima latihan kemoralan di akhir permohonan, bhikkhu selalu mengatakan bahwa dengan melaksanakan sîla, seseorang akan terlahir di alam Surga, memperoleh kesejahteraan dunia dan Dhamma, serta mencapai Nibbâna. Pelaksana Dhamma akan selalu dilindungi …………. Pada saat akan mempersembahkan dupa di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” Kami persembahkan dupa ini di atas altar Buddha yang melambangkan harumnya pelaksanaan sîla, semoga demikianlah hendaknya sîla yang kami praktikkan dalam kehidupan sehari-hari akan membawa nama baik bagi Dhamma; ajaran Buddha.”

3. Pelita / lampu / lilin, melambangkan penerangan. Ilustrasi : sebuah kamar yang gelap gulita akan menjadi kelihatan terang dan jelas, apabila dihidupkan lampu ataupun terdapat lilin yang telah disulut di dalam kamar tersebut. Lilin ini melambangkan Dhamma ajaran Bhagavâ. Dhamma akan menerangi hidup umat manusia dan seharusnya menjadi pedoman dan kompas manusia untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan rintangan, tantangan, dan hambatan. Orang yang tidak memiliki Dhamma bagaikan orang buta, sehingga orang tersebut harus memiliki Dhamma. Dhamma yang dimilikinya belum mantap bagaikan orang buta yang selalu membawa tongkat sebagai penunjuk jalan. Pada saat akan mempersembahkan lilin/pelita di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” Kami persembahkan lilin/pelita ini di atas altar Buddha yang melambangkan penerangan, semoga demikianlah hendaknya Dhamma; ajaran Buddha akan menjadi penuntun dan pedoman hidup kami sehingga akan membawa kebahagiaan dalam hidup kami untuk terlahir di alam Surga hingga tercapainya Nibbâna.”

4. Bunga/kembang, melambangkan keindahan yang tidak bertahan lama atau yang akan mengalami kelapukan / ketidakkekalan. Dengan memperhatikan bunga, seyogianya kita memahami ajaran tentang ketidakkekalan. Kecantikan, kedudukan, kepandaian, keahlian, kekayaan, martabat, jabatan, dan lain-lainnya adalah tidak bertahan selamanya akan mengalami perubahan pada saatnya tiba. Oleh karena itu, bunga yang dipersembahkan ke atas altar Buddha adalah sebagai alarm kehidupan bagi kita, di mana suatu saat apa yang kita miliki dan kita harapkan tidaklah dapat kita lekati sepanjang masa. Semuanya akan berpisah. Dengan demikian, kita harus menghindari keangkuhan, kesombongan, dan tinggi hati. Pada saat akan mempersembahkan bunga di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” Kami persembahkan bunga ini di atas altar Buddha yang melambangkan keindahan yang tidak dapat bertahan lama dan suatu saat akan mengalami kelapukan/ketidakkekalan, semoga demikian-lah hendaknya kami dapat memanfaatkan kehidupan ini dengan penuh perhatian, sehingga menghindarkan diri kami dari keangkuhan, kesombongan, dan tinggi hati.”

5. Makanan serta buah-buahan, melambangkan buah dari suatu perbuatan atau keberhasilan atas segala usaha yang telah dilaksanakan. Setiap perbuatan atau usaha yang dilakukan, suatu saat nanti akan membuahkan hasil atau akibat. Berbuat baik akan berakibat kebahagiaan, kemujuran atau berkecukupan/kaya sedangkan berbuat kejahatan akan berakibat penderitaan, kesialan atau serba kekurangan. Segala sesuatu yang akan diterima bila tepat pada waktunya, maka akan menjadi kenyataan, untuk itu manusia dituntut ketenangan dan kesabaran dalam menunngu kenyataan tersebut. Pada saat akan mempersembahkan makanan/buah-buahan di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” Kami persembahkan makanan/buah-buahan ini di atas altar Buddha yang melambangkan keberhasilan atau tercapainya cita-cita, semoga demikianlah hendaknya perbuatan yang telah kami lakukan dalam kehidupan ini akan membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidup kami untuk terlahir di alam Surga hingga tercapainya Nibbâna.”

Apa yang Dilihat di Puncak Gunung ?



Dahulu kala, ditempat yang sangat jauh, ada seorang kepala suku sedang sakit keras. Lalu dia memanggil 3 pemuda gagah dan kuat serta paling berbakat yang ada dikampung itu, berkata kepada mereka, “Saya sudah akan meninggalkan dunia ini, saya menginginkan kalian melakukan hal yang terakhir untuk saya. Kalian bertiga adalah pemuda sehat, bertenaga, dan lebih pintar dari bijaksana dari semua penduduk yang ada dikampung ini. Sekarang, kalian pergilah mendaki gunung yang paling tinggi dan sakral, sebisa mungkin mendaki  sampai ke puncak, lalu kalian kembali kesini memberitahu saya apa yang kalian lihat dan dengar?”
Tiga hari kemudian, salah satu dari ke tiga pemuda ini kembali, dengan tersenyum gembira, dan baju yang rapi dia berkata kepada kepala suku,”Kepala suku, saya telah sampai dipuncak gunung, saya melihat bunga-bunga tumbuh dengan indah, sumber air mengalir dengan jernih, suara kicauan burung terdengar dimana-mana, tempat itu lumayan juga!.”
Kepala suku dengan tertawa berkata, “Anakku, jalan yang engkau lalui dahulu juga pernah saya lalui, yang engkau katakan tempat yang penuh bunga dan kicauan suara burung bukan puncak gunung, itu adalah kaki gunung, sekarang engkau pulanglah!”
Sebulan kemudian, pemuda yang kedua juga sudah pulang, dia kelihatan sangat capek, wajahnya sangat kumuh.
“Kepala suku, saya sudah berada dipuncak gunung, saya melihat hutan yang penuh dengan pohon pinus, saya melihat burung elang berterbangan disana, itu adalah sebuah tempat yang bagus.”
“Sungguh sayang! Anakku, itu bukan puncak gunung, tetapi adalah pertengahan gunung. Maaf sudah menyusahkan kamu, sekarang kamu pulanglah!”
Setelah sebulan lagi berlalu, semua orang sudah mulai khawatir kepada pemuda ke tiga yang masih belum pulang, dia melangkah dengan tergopoh-gopoh, bajunya yang sudah compang-camping, bibirnya pecah-pecah, hanya kedua matanya memancarkan sinar yang cemerlang.
“Kepala suku, akhirnya saya sampai ke puncak gunung. Tetapi, harus bagaimanakah saya menceritakan keadaan disana? Disana hanya ada angin kencang yang menyedihkan, langit biru kelihatan diempat penjuru.”
“Apakah engkau disana sungguh tidak melihat apapun? Apakah disana tidak ada seekor kupu-kupupun?”
“Benar, kepala suku, diatas sana sama sekali tidak ada sesuatu. Yang dapat engkau lihat hanyalah dirimu sendiri, seperti “seseorang” yang diletakkan di tepi langit merasa diri sendiri sangat kecil.”
“Anakku, engkau sudah benar-benar sampai ke puncak gunung, menurut adat suku kita, engkau ditakdirkan menjadi penerus pemimpin suku kita, selamat anakku.”
Apa yang dialami oleh pahlawan sejati ini? Yang dia alami adalah sekujur tubuh yang luka, kesepian karena sendirian dalam perjalanan yang panjang, dan juga merasa dirinya semakin lama menjadi semakin kerdil karena berada di alam bebas yang tinggi yang tidak ada sesuatupun.

Kisah Tissa Thera


Tissa adalah putera kakak perempuan dari ayah Pangeran Siddhattha. Ia menjadi bikkhu pada usia yang telah lanjut, dan suatu saat tinggal bersama-sama Sang Buddha. Walau baru beberapa tahun menjalani kebhikkhuannya, ia bertingkah laku seperti bhikkhu senior dan senang mendapat penghormatan serta pelayanan dari bhikkhu-bhikkhu yang berkunjung kepada Sang Buddha. Sebagai bhikkhu yunior, ia tidak melaksanakan semua kewajibannya, di samping itu ia juga sering bertengkar dengan bhikkhu-bhikkhu muda lainnya.

Suatu ketika seorang bhikkhu muda menegur kelakuannya. Hal itu membuat bhikkhu Tissa sangat kecewa dan sedih, dan kemudian ia melaporkan hal itu kepada Sang Buddha. Bhikkhu-bhikkhu lain yang mengetahui permasalahan tersebut, mengikutinya untuk memberikan keterangan yang benar kepada Sang Buddha jika dibutuhkan.

Sang Buddha, yang telah mengetahui kelakuan bhikkhu Tissa menasehatinya agar ia mau mengubah kelakuannya, tidak memiliki pikiran membenci.

Sang Buddha juga mengatakan bahwa bukan pada kehidupan kini saja bhikkhu Tissa mempunyai watak keras kepala, juga pada kehidupan sebelumnya. Bhikkhu Tissa pernah terlahir sebagai seorang pertapa yang keras kepala bernama Devala. Karena suatu kesalahpahaman, ia mencerca seorang pertapa suci. Meskipun raja ikut campur tangan dengan memintakan ampun kepada pertapa suci itu, Devala tetap berkeras kepala dan menolak untuk melakukannya. Hanya dengan paksaan dan tekanan dari raja, Devala barulah mau meminta ampun kepada pertapa suci itu.

Pada akhir wejangannya Sang Buddha membabarkan syair 3 dan 4 berikut ini:
"Akkocchi mam avadhi mam
ajini mam ahasi me
ye ca tam upanayhanti
veram tesam na sammati.
Akkocchi mam avadhi mam
ajini mam ahasi me
ye ca tam nupanayhanti
veram tesupasammati."
"Ia menghina saya,
ia memukul saya,
ia mengalahkan saya,
ia merampas milik saya."
Selama seseorang masih menyimpan pikiran seperti itu,
maka kebencian tak akan pernah berakhir.

"Ia menghina saya,
ia memukul saya,
ia mengalahkan saya,
ia merampas milik saya."
Jika seseorang sudah tidak lagi menyimpan pikiran-pikiran seperti itu,
maka kebencian akan berakhir.

Kamis, 06 Januari 2011

Inilah sifat - sifat penghancur pada diri sendiri



Dari buku Personality Plus, bisa disimpulkan kira-kira ada 20 sifat yang bisa menghancurkan diri sendiri, yaitu:

1. Bashful
Sering menghindari perhatian karena malu

2. Unforgiving

Sulit melupakan sakit hati atas ketidakadilan yang dialami, biasa mendendam

3. Resentful
Sering memendam rasa tidak senang akibat tersinggung oleh fakta/khayalannya

4. Fussy
Bersikeras minta perhatian besar pada perincian/hal yang sepele

5. Insecure
Sering merasa sedih/cemas/takut/kurang kepercayaan

6. Unpopular
Suka menuntut orang lain untuk sempurna sesuai keinginannya

7. Hard to please
Suka menetapkan standar yang terlalu tinggi yang sulit dipenuhi oleh orang lain

8. Pessimistic
Sering melihat sisi buruk lebih dulu pada situasi apapun

9. Alienated
Sering merasa terasing/tidak aman, takut jangan-jangan tidak disenangi orang lain

10. Negative attitude
Jarang berpikir positif, sering cuma melihat sisi buruk/gelap setiap situasi

11. Withdrawn
Sering lama-lama menyendiri/menarik diri/mengasingkan diri

12. Too sensitive
Terlalu introspektif/ingin dipahami, mudah tersinggung kalau disalahpahami

13. Depressed
Hampir sepanjang waktu merasa tertekan

14. Introvert
Pemikiran & perhatiannya ditujukan ke dalam, hidup di dalam diri sendiri

15. Moody
Semangatnya sering merosot drastis, apalagi kalo merasa tidak dihargai

16. Skeptical
Tidak mudah percaya, mempertanyakan motif di balik kata-kata

17. Loner
Memerlukan banyak waktu pribadi, cenderung menghindari orang lain

18. Suspicious
Suka curiga/tidak percaya kata-kata orang lain

19. Revengeful
Sadar/tidak sadar sering menahan perasaan, menyimpan dendam, ingin membalas

20. Critical
Suka mengevaluasi/menilai/berpikir/mengkritik secara negatif

Bebas dari kemelekatan (keserakahan) melalui DANA PARAMITA.

    
        Didalam kitab suci Dhammapada Tanha Vagga XXIV : 338, Sang Buddha menyabdakan : "Sebatang pohon yang telah di tebang, masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi, apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak di hancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan maka penderitaan, akan tumbuh berulang kali". Dengan adanya pelaksanaan Dana Paramita (beramal) di Vihara/Cetiya, kita diajarkan untuk melepaskan kemelekatan, yang terdapat pada diri kita. Kemelekatan akan keduniawian ini jika sedikit demi sedikit dilatih atau dikikis, melalui pelaksanaan dana paramita maka akhirnya, kehidupan ini akan terbebas dari belenggu keserakahan. Adanya kemampuan untuk mau berdana dengan benar, tanpa paksaan serta ikhlas, secara tidak langsung, kita sudah menekan lobha (keserakahan) yang selama ini, membelenggu bathin kita. Orang yang telah terlepas dari belenggu (kemelekatan) duniawi, akan mampu (bisa) menikmati kehidupan ini dengan penuh kebahagiaan.

Bertambah kebijaksanaan setelah DHARMASAVANA (mendengarkan khotbah Dharma)

       
       Kebhatian yang lengkap adalah selain adanya pembacaan Paritta Paritta atau Mantram Mantram suci dan meditasi, juga diisi dengan dharmasavana (Pembabaran Dharma atau penguraian ajaran ajaran luhur Sang Buddha). Ada empat manfaat yang bisa dipetik, disaat mendengarkan kotbah dharma. Pertama disebut dengan Assutam Sunati. Dapat mendengar dharma, yang sebelumnya belum tahu. Disini, terbukalah mata bathin kita bahwa yang dimaksud dengan dharma (kebenaran) adalah ini dan Adharma (bukan kebenaran) adalah itu. Dengan dimilikinya pengetahuan akan inilah kebenaran dan itulah ketidakbenaran, maka peluang untuk terjerumus ke liang dukkha (derita), persentasenya adalah nol koma nol nol nol persen. Disaat ini, kita sudah tahu, mana yang seharusnya di hindari dan mana yang seharusnya dilaksanakan, apa yang di maksud dengan perbuatan baik dan jahat, serta mana yang salah dan mana yang benar. Kedua disebut denganSuttam Pariyodapati. Setelah mengerti dharma (kebenaran) yang telah didengar maka kesalahpahaman yang terjadi selama ini, akan tersirnakan segera. Sebelumnya, mungkin saja kita beranggapan bahwa ke Vihara/Cetiya, tiadalah manfaatnya sama sekali, tetapi setelah dimilikinya pengertian benar ini, maka anggapan atau pandangan salah tersebut, sirnalah sudah. Dalam hal ini, dengan dimilikinya pengertian benar ini, juga akan memotivasi diri kita agar semakin giat dan ulet, di dalam penimbunan penimbunankebajikan. Ketiga disebut dengan Kankham vihanati. Di tahapan ini, keragu-raguan akan kebenaran Dharma, telah berhasil disingkirkan. Dalam hal ini, belenggu bathin (keragu-raguan) akan kebenaran Dharma, sudah terhapuskan sehingga setiap pikiran, ucapan maupun tindakan badan jasmani, telah terfilter dengan baik. Kita tak akan pernah kecewa, sedih ataupun sakit hati, seandainya dicela ataupun tidak di hargai. Mengapa..? Karena kita telah menyadari dengan baik bahwa kondisi apapun yg terjadi, tidaklah terlepas dari pada karma, yang sudah seharusnya diterima. Keempat disebut dengan Ditthim Ujum Karoti. Ditahapan ini, kita telah memiliki pandangan hidup yang benar. Dengan dimilikinya pandangan hidup yang benar, maka kita akan mampu melihat segala sesuatu, atas dasar apa adanya. Dan disaat memutuskan suatu prihal, tanpa lagi diboncengi oleh unsur kemelekatan. Dalam hal ini, kebijaksanaan sudah mulai meningkat. Hidup pun akan semakin semangat dan tidak akan pernah terpengaruh oleh hasutan maupun gosipan. Kelima disebut dengan Cittamassa Pasidati. Di tahapan ini, pikiran sudah terbersihkan dari kekotoran bathin. Kalau pikiran sudah terkontrol dengan baik maka segala tindakan maupun perbuatannya, tidak akan pernah lagi, menimbulkan penyesalan maupun penderitaan, bagi makhluk manapun yang ada di sekitarnya.

Sang Buddha menyabdakan : " Orang yang dapat menghayati Dharma, hidupnya berbahagia, pikirannya selalu tenang dan seimbang. Seperti halnya orang bijaksana, yang selalu gembira dalam menghayati Dharma, yang di babarkan oleh para Ariya". 

Rabu, 05 Januari 2011

Mendapat perlindungan melalui pembacaan PARITTA suci

        Setelah kita ber namaskara (berlutut dan bersujud), tahapan selanjutnya adalah kita ikut serta di dalam penglafalan/pengumandangan Paritta Paritta/Mantram Mantram atau Sutra Sutra suci. Secara garis besarnya, Paritta berarti perlindungan. Kalau kita menglafalkan Paritta dengan penuh ketenangan dan konsentrasi serta memancarkan getaran getaran cinta kasih, ke segala penjuru demi kebahagiaan semua makhluk. Maka dalam hal ini, kita telah membuat suatu perlindungan yang sejati, baik melalui pikiran, ucapan maupun tindakan badan jasmani. Pembacaan Paritta Paritta/Mantram Mantram suci, akan bisa meredakan dan menghilangkan sifat negatif dari diri kita, misalnya : membenci, serakah maupun irihati.
Dan semua isi dari Paritta Paritta/Mantram Mantram suci, hanya berpondasikan pada cinta kasih dan kasih sayang, untuk semua makhluk hidup, tanpa diboncengi oleh unsur diskriminasi. Dengan berhasilnya kita mengakhiri sifat-sifat jahat, maka kehidupan ini akan senantiasa dipenuhi oleh perbuatan-perbuatan baik.Terhindari dari perbuatan perbuatan jahat, sama artinya, hidup dengan penuh kedamaian dan ketentraman. Hidup yang dipenuhi oleh kedamaian dan ketentraman, akan mencegah tercetusnya karma karma jelek.

Senin, 03 Januari 2011

Mengikis ke AKU an melalui pelaksanaan NAMASKARA

      Pada dasarnya, kita ini termasuk manusia yang sombong dan angkuh. Mau tahu bukti nya…..? Disaat kita photo bersama dan setelah hasilnya didapatkan. Gambar siapakah yang pertama sekali dilihat…..? Pasti diri sendiri ! Mengapa bukan orang lain….? Inilah salah satu contoh dari ke Aku an. Contoh yang lainnya adalah apakah reaksi yang bakal timbul jika dikatakan cantik dan menawan…..?


       Pasti, bangganya luar biasa atau lupa diri barang sejenak. Dan bisa saja merasakan, seakan akan berada di angkasa, bagaikan burung yang terbang melayang layang kesana-kemari. Coba kalau kondisi sebaliknya yang terjadi, misalnya dikatakan jelek, jorok, menjengkelkan, kampungan, tidak bermoral dan membosankan. Reaksi apakah yang bakal timbul….? Pasti kesedihan yang berkepanjangan, bisa saja dicurahkan dalam wujud tangisan atau ratapan, yang ber episode lamanya. Baginya, hidup ini tiada artinya sama sekali. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak dan pikiranpun serba ruwet.

       Ini adalah kondisi kondisi yang umumnya, membelenggu bathin kita. Kalau di puji, gembiranya luara bisa, dan bisa saja sampai lupa daratan tetapi jika dicela, sedihnya pun tak terkirakan, baginya hidup ini, tidaklah berarti lagi. Ciri khas orang orang yang ke Aku an nya sangat menonjol adalah sedih dikala dicela dan gembira (bangga) kalau dipuji. Sang Buddha menyabdakan : "Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana, tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian….."
       Jadi, bisa disimpulkan bahwa ke AKU an yang sangat menonjol, tidaklah berbeda dengan Si bodoh. Bodoh dalam hal ini adalah gampang (mudah) diombang ambing dan dipengaruhi, untuk mau melakukan perbuatan perbuatan, apapun juga. Selanjutnya, bagaimana caranya agar kita bisa menekan/mengurangi ke AKU an di Vihara/Cetiya…..? Caranya yaitu melalui pelaksanaan Namaskara (berlutut dan bersujud) sebanyak tiga kali, dihadapan Buddha rupang (Arca/patung Nya, Sang Buddha). Dalam hal ini, apakah kita menyembah nyembah patung…? Pasti tidak ! Sang Buddha saja tidak kita sembah, apalagi patung Nya. Makna dari namaskara, merupakan salah satu wujud dari penghormatan dan rasa terima kasih kita, atas jasa jasa luhur Sang Buddha. Sikap namaskara, dalam hal ini, tidaklah difokuskan untuk menyembah nyembah patung. Semasa hidup Nya, Sang Buddha tidak pernah memperkenankan umat Nya, untuk menyembah nyembah beliau. Disetiap sabda Nya, Sang Buddha selalu menekankan bahwacara penghormatan yang benar terhadap beliau adalah dengan melaksanakan Dharma (kebenaran) di dalam kehidupan yang nyata. Jadi adalah suatu anggapan yang salah dan fatal sekali, jika mengatakan bahwa umat Buddha menyembah nyembah patung, di setiap kali kebhaktian. Sikap Namaskara/penghormatan umat Buddha di hadapan altar suci Sang Buddha, sama halnya dengan penghormatan, yang kita arahkan kepada bendera Merah Putih, yang merupakan lambang persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Umat Buddha menghormati dan menghargai bendera Merah Putih, juga atas dasar wujud terima kasih atas pengorbanan dan perjuangan para pahlawan terdahulu, dan demikan juga halnya dengan patungnya Sang Buddha. Pada waktu kita bernamaskara dihadapan altar suci Sang Buddha, disanalah kita merenungkan kembali, apalah artinya diriku ini jika tanpa bimbingan dan tuntunan Dharma (ajaran Nya Sang Buddha) Dari segi keagungan, aku sama sekali tiada artinya dibandingkan Sang Buddha, hidupku selalu terbelenggu oleh nafsu nafsu keduniawian, ingin makan yang enak, rumah yang indah, istri/suami yang cantik/gagah, ingin ini dan itu…akhirnya kabut avijja (ketidak tahuan) semakin tebal menyelimuti diriku…. Hanya, Sang Buddhalah yang bisa menerangi diriku agar terlepas dari "dukkha : derita" yang mendalam ini. Dengan selalu mengadakan perenungan perenungan ini, maka tanpa disadari, kita telah belajar menekan ke AKU an, yang begitu kentalnya, melekat di hati sanubari. Itulah salah satu manfaat yang di peroleh di Vihara/Cetiya.

Sabtu, 01 Januari 2011

Pentingkah melafalkan sutra bagi orang yang sudah meninggal?


Setelah kematian, melafalkan sutra dan melakukan praktik Buddhis lainnya dapat membantu menyediakan kondisi yang menunjang bagi potensi positif orang itu sendiri untuk masak. Orang itu telah meninggalkan tubuh dan tidak mendengar sutra melalui telinganya. Namun demikian, dengan kekuatan dedikasi, penciptaan potensi positif dapat membantu. Juga tiap minggu selama tujuh minggu setelah kematian, sangat membantu untuk melafalkan sutra. Ini karena bila orang itu belum menemukan tubuh kasar untuk terlahir kembali, ia masih berada di alam antara (alam bardo), alam diantara matinya tubuh kasar dan pengambilan tubuh kasar lainnya. Potensi positif yang kita buat dan dedikasikan bagi almarhum dapat membantunya terlahir di alam yang baik. Namun, jangan berpikir, "Saya akan minta Bhikkhu dan Bhikkuni melaksanakan pelafalan sutra sedangkan saya pergi main mayong". Kita memiliki hubungan karma dengan almarhum, jadi doa kita dan perbuatan bajik kita yang kita dedikasikan pada orang itu adalah penting juga.
Adalah baik memberikan barang milik almarhum pada yang lain sebagai jalan melakukan kedermawanan dan menghimpun potensi positif. Mempersembahkan pada objek suci - Buddha, Dharma, Sangha - dan kepada orang yang membutuhkan - orang miskin dan sakit - juga bermanfaat. Potensi positif dari ini kemudian didedikasikan untuk manfaat semua mahluk dan khususnya orang itu.

Syair : Permintaan Maaf


Waktu yang dulu kita lalui
lalu sudah berakhir
saat itu aku tak mampu lagi menjaga mu
ku tak bisa berada di sisi mu lagi
karena ketidak kekalan yang ada

Saat itu ku mungkin sudah merasa...
ku tak bisa membahagiakan mu lagi
dan hati pun berat untuk berkata maaf
hanya satu yang dulu aku inginkan
bahwa ku ingin kau bahagia

Ketika itu kau sangat membenci ku
menyimpan dendam yang dalam untuk ku
dengarkan lah,tak ada gunanya diri ini menyimpan kebencian
semua caci maki terlontar untuk ku
ku hanya bisa membalas dengan senyuman

Kini,awal tahun yang penuh dengan harapan
engkau telah menyusul ke dunia baru
ku tak ingin kau masih menyimpan dendam
semua yang  mencintaimu sangat berharap engkau tenang
ingat lah, tak ada yang bisa abadi

Walau raga ku juga telah tiada seperti mu saat ini
tapi kata maaf ku,selalu ada saat kau membenci ku
aku ingin semua bahagia
lepaskan lah semua dendam yang ada
dan ku yakin engkau dan aku akan tenang 
di alam kita masing-masing.