Selasa, 17 Mei 2011

Mengapa kekerasan semakin melanda dunia ?


Na hi verena verāni, sammantdha kudācana,
averena ca sammanti, esa dhammo sanantano.
 
Dalam dunia ini, kebencian tidak pernah dapat dilenyapkan dengan kebencian, kebencian hanya dapat dilenyapkan dengan cinta kasih
dan saling memaafkan. Ini adalah kebenaran abadi.
(Dhammapada I:5)

Akhir-akhir ini bentuk kekerasan dan kejahatan bertambah di mana-mana. Tidak saja di negeri kita ini yang sudah biasa kita dengar atau kita saksikan terjadi kekerasan, kejahatan, pembunuhan, perampokan dan lain-lain di mana-mana, tetapi juga di negeri-negeri lainnya. Ada apa dengan perilaku atau tindakan manusia akhir-akhir ini? Sebut saja negeri-negeri yang bergolak di seberang sana, di antaranya; Mesir, Tunisia, Libya, Yaman, dan lain-lain.

Kalau ditinjau dari kacamata Dhamma, tidak lain penyebabnya adalah karena ketidakpuasan atau keserakahan. Rakyat melawan pemimpin/presidennya, melawan penguasa. Bukan tidak punya alasan, mereka berontak karena alasan kemiskinan atau ketidakmerataan, dan lainnya. Inilah yang memicu banyak para pemimpin negara diminta oleh rakyatnya untuk mundur dari kekuasaannya, bahkan lebih parah lagi hanya untuk meminta mundur saja sebagian besar tidak ada yang langsung mundur, ya sebagai akibatnya banyak rakyatnya yang menjadi korban kekerasan, pembunuhan penembakan dan lain-lain.
Semua yang terjadi itu ada sebabnya, mengapa rakyat berontak? Ya, karena penguasa/ pemimpin tadi sibuk memperkaya diri, keluarga dan kerabatnya. Rakyat berontak karena tidak punya penghidupan yang cukup, tidak punya pendidikan yang tinggi, tidak punya pengetahuan yang luas dan tidak punya keterampilan yang cukup sehingga memiliki pikiran yang dangkal, dan sebagai akibatnya adalah mudah terbawa emosi, terprovokasi, melakukan kekerasan, dan kejahatan.
Selain karena ketidakpuasan ditambah lagi dengan kebencian, hal inilah yang membuat manusia tidak suka dengan keberhasilan, kedudukan, keberuntungan dan kekayaan orang lain, tidak ada rasa simpati terhadap kebahagiaan orang lain.
Apa lagi penyebab lainnya sehingga banyak manusia sekarang ini semakin termotivasi untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap orang lain? Ya, karena itulah adanya moha, moha inilah penyebab orang melakukan kejahatan. Mereka menganggap hal itu sebagai yang benar, bisa membawa kelahiran di surga dan lain-lain.
Lalu bagaimana cara kita sebagai umat Buddha untuk mengantisipasi agar perilaku kekerasan itu tidak menular? Ya, selalu dekat dengan Dhamma, menjunjung Dhamma, menghormati Dhamma, dan mempraktikkan Dhamma.  Selain hal di atas, yang tidak boleh kita abaikan adalah hukum kamma, kamma inilah sebagai hasil dari setiap usaha dan tindakan kita. Maka disebutkan dalam Sayutta Nikāya; sesuai dengan benih yang ditabur demikian juga buah yang akan kita petik.
Untuk mengetahui bahwa kamma itu sebagai pembeda dan penentu kehidupan kita, dalam Cūakamma Vibhaga Sutta diceritakan seorang pemuda bernama Subha Putra dari brahmana Todeyya, bertanya kepada Sang Buddha demikian; ”Mengapa ada orang yang berwajah tampan/cantik sedangkan lainnya berwajah buruk/jelek? Mengapa ada orang berkelimpahan harta sedangkan yang lainnya miskin? Mengapa ada orang yang lahir sempurna sedangkan yang lainnya terlahir cacat? Mengapa ada orang yang lahir pandai sedangkan yang lainnya terlahir bodoh? Mengapa ada orang yang lahir dihormati sedangkan yang lainnya direndahkan/dihina?”
Sang Buddha berkata lalu menjawab:
”Ya, pemuda Subha pantaslah kamu bingung atas perbedaan manusia di muka bumi ini. Yang berwajah cantik/tampan dulunya dia tidak suka marah, dia selalu berpikir dan berbuat dengan kasih sayang. Yang berkelimpahan harta dulunya dia suka berbuat dana. Yang terlahir sempurna fisiknya, dulunya dia suka menghargai makhluk hidup. Yang terlahir pandai dulunya dia suka bertanya. Yang dihargai/dihormati dia dulunya suka menghargai keberadaan dan pendapat orang lain. Sedangkan kalau sebaliknya, demikian juga buah/akibatnya.”  Jadi, dari isi sutta ini bahwa yang membedakan dan menentukan kehidupan kita satu dengan yang lainnya adalah perbuatan/kamma.
Sebagai bekal dalam mengisi kehidupan ini hendaknya kita punyai Tujuh Sifat Baik sebagai pedoman dalam kehidupan ini yang harus kita laksanakan dan  dikembangkan:
1.    Keyakinan: ajaran Sang Buddha, hukum Kamma, Sebab-akibat, Tilakkhana.
2.    Rasa malu untuk berbuat jahat.
3.    Rasa takut akan perbuatan jahat.
4.    Banyak pengetahuan.
5.    Keteguhan batin.
6.    Perhatian yang kuat.
7.    Kebijaksanaan.                     
(Mahāparinibbāna Sutta)

Inilah Kehidupan

                               



Sang Buddha mengajarkan pada kita tentang jalan menuju kebagagiaan. kebahagiaan yang tidak bersifat sementara, kebahagiaan sesungguhnya, kebahagiaan sejati.
pada kesempatan ini saya akan manfaatkan untuk berbagi pemahaman tentang bagaimana cara kita seharusnya menghadapi kehidupan, agar kita dapat hidup dengan bahagia dan damai. 
artikel ini saya sadur dari sebuah buku yang berjudul "Inipun Akan Berlalu - Ajahn Chah". Semoga bermanfaat untuk siapapun dan di manapun Anda berada. Semoga Anda selalu berbahagia.


Di mana Dhamma? Segenap Dhamma sedang duduk di sini bersama kita. Apa pun yang anda alami adalah benar, seperti apa adanya. Ketika anda menjadi tua, jangan pikir bahwa itu adalah sesuatu yang salah. Ketika punggung anda sakit, jangan pikir itu semacam kekeliruan. Jika anda menderita, jangan pikir itu salah. Jika anda bahagia, jangan pikir itu salah.

Semuanya ini adalah Dhamma. Penderitaan hanyalah penderitaan. Kebahagiaan hanyalah kebahagiaan. Panas hanyalah panas. Dingin hanyalah dingin. Dhamma bukanlah ”Aku bahagia, aku menderita, aku baik, aku buruk,aku mendapat sesuatu, aku kehilangan sesuatu.” Apakah ada yang bisa dihilangkan seseorang? Tidak ada sama sekali. Mendapatkan sesuatu adalah Dhamma. Kehilangan sesuatu adalah Dhamma. Bahagia dan nyaman adalah Dhamma. Sakit adalah Dhamma. Dhamma berarti tidak melekat pada kondisi-kondisi ini, namun mengenali mereka apa adanya. Jika anda memiliki kebahagiaan, Anda sadari, ”Oh! Kebahagiaan tidaklah tetap.” Jika Anda menderita, Anda sadari, ”Oh! Duka tidaklah tetap.” ”Oh, ini benar-benar baik!”—tidak tetap. ”Itu benar-benar buruk!”—tidak tetap. Mereka punya keterbatasan, jadi jangan berpegang begitu erat pada mereka.

Buddha mengajarkan mengenai ketidaktetapan. Beginilah segala sesuatu sebagaimana adanya—mereka tidak mengikuti kehendak siapapun. Itulah kebenaran mulia. Ketidaktetapan menguasai dunia, dan itu adalah sesuatu yang tetap. Inilah titik tempat kita terkelabui, jadi inilah tempat di mana seharusnya Anda lihat. Apapun yang terjadi, kenalilah itu sebagai benar. Segala sesuatu benar dalam sifat alaminya sendiri, yaitu pergerakan tiada henti dan perubahan. Tubuh kita demikian. Semua fenomena badan dan batin pun demikian. Kita tidak bisa menghentikan mereka; mereka tidak bisa dibuat diam. Tidak diam berarti sifat mereka adalah tidak tetap. Jika kita tidak bergulat dengan kenyataan ini, maka di mana pun kita berada, kita akan bahagia. Di mana pun kita duduk, kita bahagia. Di mana pun kita tidur, kita bahagia. Bahkan ketika kita menjadi tua, kita tidak akan terlalu menggubrisnya. Anda berdiri dan punggung Anda sakit, lalu Anda pikir, ”Ya, ini kira-kira benar seperti ini.” Itu benar, jadi jangan melawannya. Ketika rasa sakit itu berhenti, Anda mungkin berpikir, ”Ah! Lebih baik!” Tapi itu bukannya lebih baik. Anda masih hidup, jadi punggung Anda akan sakit lagi. Inilah jalan sebagaimana adanya, sehingga Anda harus terus mengarahkan batin pada perenungan ini, dan jangan membiarkan batin berpaling dari praktik. Tetaplah gigih di dalamnya, dan jangan memercayai segala sesuatu terlalu banyak; alih-alih percayailah Dhamma, bahwa kehidupan itu ya seperti ini. Jangan memercayai kebahagiaan. Jangan memercayai duka. Jangan terpaku mengejar apa pun.

Dengan landasan seperti ini, maka apa pun yang terjadi, janganlah dipikirkan—itu bukanlah sesuatu yang tetap, itu bukanlah sesuatu yang pasti. Dunia adalah seperti ini. Maka di sana ada jalan bagi kita, jalan untuk menata hidup kita dan melindungi kita. Dengan penyadaran murni dan pemahaman jernih terhadap kita sendiri, dengan kebijaksanaan yang melingkupi-segalanya, itulah jalan dalam keselarasan. Tak ada yang bisa mengelabui kita, karena kita telah memasuki jalan. Tetaplah melihat ke sini, kita bertemu dengan Dhamma sepanjang masa.

Acara anak-anak di Hari Waisak 2555BE

 VIHARA SINAR BOROBUDUR 
KOTA TARAKAN