Senin, 03 Januari 2011

Mengikis ke AKU an melalui pelaksanaan NAMASKARA

      Pada dasarnya, kita ini termasuk manusia yang sombong dan angkuh. Mau tahu bukti nya…..? Disaat kita photo bersama dan setelah hasilnya didapatkan. Gambar siapakah yang pertama sekali dilihat…..? Pasti diri sendiri ! Mengapa bukan orang lain….? Inilah salah satu contoh dari ke Aku an. Contoh yang lainnya adalah apakah reaksi yang bakal timbul jika dikatakan cantik dan menawan…..?


       Pasti, bangganya luar biasa atau lupa diri barang sejenak. Dan bisa saja merasakan, seakan akan berada di angkasa, bagaikan burung yang terbang melayang layang kesana-kemari. Coba kalau kondisi sebaliknya yang terjadi, misalnya dikatakan jelek, jorok, menjengkelkan, kampungan, tidak bermoral dan membosankan. Reaksi apakah yang bakal timbul….? Pasti kesedihan yang berkepanjangan, bisa saja dicurahkan dalam wujud tangisan atau ratapan, yang ber episode lamanya. Baginya, hidup ini tiada artinya sama sekali. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak dan pikiranpun serba ruwet.

       Ini adalah kondisi kondisi yang umumnya, membelenggu bathin kita. Kalau di puji, gembiranya luara bisa, dan bisa saja sampai lupa daratan tetapi jika dicela, sedihnya pun tak terkirakan, baginya hidup ini, tidaklah berarti lagi. Ciri khas orang orang yang ke Aku an nya sangat menonjol adalah sedih dikala dicela dan gembira (bangga) kalau dipuji. Sang Buddha menyabdakan : "Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana, tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian….."
       Jadi, bisa disimpulkan bahwa ke AKU an yang sangat menonjol, tidaklah berbeda dengan Si bodoh. Bodoh dalam hal ini adalah gampang (mudah) diombang ambing dan dipengaruhi, untuk mau melakukan perbuatan perbuatan, apapun juga. Selanjutnya, bagaimana caranya agar kita bisa menekan/mengurangi ke AKU an di Vihara/Cetiya…..? Caranya yaitu melalui pelaksanaan Namaskara (berlutut dan bersujud) sebanyak tiga kali, dihadapan Buddha rupang (Arca/patung Nya, Sang Buddha). Dalam hal ini, apakah kita menyembah nyembah patung…? Pasti tidak ! Sang Buddha saja tidak kita sembah, apalagi patung Nya. Makna dari namaskara, merupakan salah satu wujud dari penghormatan dan rasa terima kasih kita, atas jasa jasa luhur Sang Buddha. Sikap namaskara, dalam hal ini, tidaklah difokuskan untuk menyembah nyembah patung. Semasa hidup Nya, Sang Buddha tidak pernah memperkenankan umat Nya, untuk menyembah nyembah beliau. Disetiap sabda Nya, Sang Buddha selalu menekankan bahwacara penghormatan yang benar terhadap beliau adalah dengan melaksanakan Dharma (kebenaran) di dalam kehidupan yang nyata. Jadi adalah suatu anggapan yang salah dan fatal sekali, jika mengatakan bahwa umat Buddha menyembah nyembah patung, di setiap kali kebhaktian. Sikap Namaskara/penghormatan umat Buddha di hadapan altar suci Sang Buddha, sama halnya dengan penghormatan, yang kita arahkan kepada bendera Merah Putih, yang merupakan lambang persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Umat Buddha menghormati dan menghargai bendera Merah Putih, juga atas dasar wujud terima kasih atas pengorbanan dan perjuangan para pahlawan terdahulu, dan demikan juga halnya dengan patungnya Sang Buddha. Pada waktu kita bernamaskara dihadapan altar suci Sang Buddha, disanalah kita merenungkan kembali, apalah artinya diriku ini jika tanpa bimbingan dan tuntunan Dharma (ajaran Nya Sang Buddha) Dari segi keagungan, aku sama sekali tiada artinya dibandingkan Sang Buddha, hidupku selalu terbelenggu oleh nafsu nafsu keduniawian, ingin makan yang enak, rumah yang indah, istri/suami yang cantik/gagah, ingin ini dan itu…akhirnya kabut avijja (ketidak tahuan) semakin tebal menyelimuti diriku…. Hanya, Sang Buddhalah yang bisa menerangi diriku agar terlepas dari "dukkha : derita" yang mendalam ini. Dengan selalu mengadakan perenungan perenungan ini, maka tanpa disadari, kita telah belajar menekan ke AKU an, yang begitu kentalnya, melekat di hati sanubari. Itulah salah satu manfaat yang di peroleh di Vihara/Cetiya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar