Sabtu, 08 Januari 2011

Simbol dhamma pada altar Buddha


Apabila kita mencermati altar Buddha Gotama yang terdapat di Ârâma, Vihâra, Cetiya ataupun di rumah-rumah umat Buddha (yang berpedoman pada Kitab Suci Tipitaka, maka akan ditemui benda-benda yang terdapat di atas altar tersebut adalah Buddharûpam (atau Arahattarûpam) tidak wajib ada  dan Âmisa-pûjâ (benda-benda persembahan). Benda-benda persembahan yang terdapat dalam altar di antaranya : air, dupa/gaharu atau hio, pelita/ lampu/lilin, dan bunga, sedangkan makanan serta buah-buahan merupakan benda persembahan yang tidak wajib.
Buddharûpam / Arca Buddha (atau Arahattarûpam) bukanlah sebagai objek pemujaan yang kepada-Nya kita memohon dan meminta sesuatu (apakah supaya menjadi kaya, banyak rezeki, usaha lancar, penyakit dapat disembuhkan, menginginkan anak sesuai dengan apa yang diharapkan maupun berjodoh) atau pun sebagai sasaran untuk mengadu segala keluh kesah yang dihadapi oleh manusia atau sebagai tempat untuk meminta ampun atas segala kesalahan yang telah dilakukan atau pun meminta bantuan/pertolongan.Namun dapat dijadikan sebagai tempat menyatakan tekad atau ber-aditthana untuk menjadi upâsaka atau upâsikâ, sâmanera, bhikkhu, dan untuk berbuat baik. Buddharûpam merupakan simbol dari bukti nyata bahwa ada seorang manusia yang telah mencapai Penerangan Sempurna yang telah membabarkan Dhamma yang mulia, yang indah pada awalnya, yang indah pada pertengahannya, dan indah pula pada pengakhirannya (Yo Dhammam desesi âdikalyânam majjhekalyânam pariyosânakalyânam). Beliau adalah Guru Agung umat manusia yang memiliki kebijaksanaan agung (Mahâ Paññâ), kesucian yang luhur (Mahâ Parisuddhi), dan welas asih yang universal (Mahâ Karunâ) yang telah dikembangkan dan diwujudkan dalam kehidupan-Nya. Hal tersebut dilakukan selama 45 tahun setelah Beliau mencapai Penerangan Sempurna; Nibbâna melalui pembabaran Dhamma yang dilakukan-Nya terus-menerus dengan jadwal sehari-hari yang sangat padat. Bahkan Beliau hanya tidur satu jam setiap harinya. Perjuangan dan pengorbanan Beliau-lah yang membuat manusia menjadikan sosok Buddha sebagai kiblat atau sebagai fokus yang diletakkan di atas altar. Buddharûpam sesungguhnya bukanlah objek yang wajib, karena tanpa Buddharûpam umat Buddha dapat melakukan aktivitas Dhamma di dalam kehidupan sehari-hari detik per detik. Praktik Dhamma adalah yang utama. Buddha sendiri menyarankan agar Bhikkhu Ânanda menasihati Upâsaka Anathapindika melakukan penghormatan kepada Bodhirukkha / pohon Bodhi ketika Beliau tidak berada di tempat. Hal ini disampaikan oleh Buddha berkaitan dengan pertanyaan yang disampaikan oleh Upâsaka Anathapindika kepada Bhikkhu Ânanda mengenai penghormatan yang seharusnya dilakukan apabila Buddha Gotama tidak berada di Jetavanârâma. Dengan demikian merupakan pernyataan yang salah (kalau boleh dikatakan orang yang menyatakan tersebut tidak mengerti Dhamma dengan benar dan jelas) apabila dinyatakan bahwa umat Buddha menyembah BERHALA. Karena umat Buddha yang benar adalah umat Buddha yang melakukan pujabhatti dengan menguncar ulang apa yang telah disampaikan oleh Buddha. Seyogianya umat tidak melakukan permohonan atau pun permintaan apa-apa. Sesungguhnya Buddharûpam digunakan sebagai :

1. Lambang penghormatan sebagai tanda terima kasih dan anumodâna atas segala upaya Beliau mencapai Penerangan Sempurna sehingga sampai hari ini banyak umat yang tertolong dan terbantu dengan Dhamma yang telah Beliau uraikan.

2. Sarana atau alat/objek untuk bermeditasi karena keagungan, kemuliaan, dan cinta kasih yang universal yang Beliau pancarkan. Dengan melihat rûpam-Nya saja (apabila dalam pembuatannya sesuai dengan Dhamma dan Vinaya), kita telah dapat merasakan kebahagiaan, kedamaian, dan ketentraman serta segan atas dedikasi dan wibawa, juga kharima Beliau. Hal ini-lah yang dijadihan perenungan dari Buddharûpam. Bukan karena sebagai sosok manusia, maka kita memohon-mohon layaknya para pengemis jalanan mengemis makanan atau uang sebagai tanda berbelas kasihan. Secara Dhamma, umat tidak dapat meminta dan memohon sesuai dengan apa yang dikehendaki dan diingini, karena tanpa menciptakan sebab maka tidak akan ada akibat yang diterima.

3. Visi kedepan umat Buddha. Buddha adalah gelar kesucian yang diberikan kepada Pertapa Gotama (adalah Pangeran Siddhattha Gotama anak dari Raja Sudodhana dan Ratu Mahâ Maya yang memerintah Kerajaan Kapilavatthu) karena Beliau telah mencapai Penerangan Sempurna di bawah Pohon Bodhi. Tujuan Pangeran Siddhattha Gotama meninggalkan istana yang megah dan penuh dengan kebahagiaan duniawi adalah untuk membebaskan diri dari dukkha karena mengalami kelahiran, kelapukan, dan kematian. Jadi dengan melihat Buddharûpam, maka dalam diri kita timbul pemahaman bahwa suatu saat nanti saya sebagai murid/siswa Beliau akan mencapai Nibbâna. Inilah sebenarnya tujuan akhir dari setiap umat Buddha. Sementara tujuan jangka pendeknya adalah hidup berbahagia di dunia ini, dan tujuan jangka menengahnya adalah meninggal dunia akan terlahir di alam Surga yang penuh dengan kebahagiaan.
Âmisa-pûjâ (benda-benda persembahan) yang dipersembahkan di atas altar Buddha bukanlah sebagai persembahan yang diberikan kepada Buddha agar Beliau menikmatinya. Pengertian demikian adalah sangat tidak tepat dan boleh dikatakan SALAH BESAR. Dengan demikian apakah makna dari simbolik tersebut ? Berikut akan dijelaskan satu persatu dari keempat persembahan wajib dan satu merupakan persembahan tambahan yang terjadi belakangan. Âmisa-pûjâ (benda-benda persembahan) adalah :

1. Air, melambangkan kesucian, kesetiaan, dan kejujuran. Air berguna untuk membersihkan sesuatu, segala sesuatu yang terdapat dalam air ataupun warna yang ditaruh ke dalam air dapat kelihatan dengan jelas, dan air sifatnya dapat menyesuaikan diri dengan wadahnya serta selalu mencari tempat yang rendah. Jadi dengan melihat air yang dipersembahkan di atas altar Buddha, maka menimbulkan pemahaman bagi kita bahwa Dhamma dapat berguna untuk membersihkan kekotoran batin baik yang kasar (Lobha / keserakahan, Dosa / kebencian atau dendam, Moha / ketidaktahuan) dan yang halus (Kâmâsava / kekotoran batin yang berasal dari nafsu indera, Bhavâsava / keinginan untuk hidup, Ditthâsava / pandangan salah, Avijjâsava / kegelapan batin), orang yang melakukan kesalahan dan pelanggaran Dhamma dapat diketahui, orang yang mengerti Dhamma dapat menempatkan diri di mana pun mereka berada, orang yang mengerti Dhamma adalah orang yang rendah hati, tiada angkuh dan tiada sombong. Pada saat akan mempersembahkan air di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat : ”Kami persembahkan air yang melambangkan kesucian, kesetiaan, dan kejujuran ini di atas altar Buddha. Semoga demikianlah kami dalam menjalani kehidupan ini dengan meningkatkan kesucian batin, kesetiaan, dan kejujuran kami.”

2. Dupa/gaharu atau hio, melambangkan harumnya Dhamma. Bila dupa tidak disulut, maka harumnya tidak menyebar ke berbagai penjuru. Akan tetapi, apabila dupa disulut, maka harumnya akan menyebar ke mana-mana ke segala penjuru. Demikianlah halnya dengan Dhamma ajaran mulia Bhagavâ, apabila kita melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari, maka pelaksana Dhamma akan selalu harum namanya, penuh dengan pujian dan penghargaan yang diberikan orang atau pihak lain. Setiap umat memohon tuntunan Pernaungan dan Lima latihan kemoralan di akhir permohonan, bhikkhu selalu mengatakan bahwa dengan melaksanakan sîla, seseorang akan terlahir di alam Surga, memperoleh kesejahteraan dunia dan Dhamma, serta mencapai Nibbâna. Pelaksana Dhamma akan selalu dilindungi …………. Pada saat akan mempersembahkan dupa di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” Kami persembahkan dupa ini di atas altar Buddha yang melambangkan harumnya pelaksanaan sîla, semoga demikianlah hendaknya sîla yang kami praktikkan dalam kehidupan sehari-hari akan membawa nama baik bagi Dhamma; ajaran Buddha.”

3. Pelita / lampu / lilin, melambangkan penerangan. Ilustrasi : sebuah kamar yang gelap gulita akan menjadi kelihatan terang dan jelas, apabila dihidupkan lampu ataupun terdapat lilin yang telah disulut di dalam kamar tersebut. Lilin ini melambangkan Dhamma ajaran Bhagavâ. Dhamma akan menerangi hidup umat manusia dan seharusnya menjadi pedoman dan kompas manusia untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan rintangan, tantangan, dan hambatan. Orang yang tidak memiliki Dhamma bagaikan orang buta, sehingga orang tersebut harus memiliki Dhamma. Dhamma yang dimilikinya belum mantap bagaikan orang buta yang selalu membawa tongkat sebagai penunjuk jalan. Pada saat akan mempersembahkan lilin/pelita di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” Kami persembahkan lilin/pelita ini di atas altar Buddha yang melambangkan penerangan, semoga demikianlah hendaknya Dhamma; ajaran Buddha akan menjadi penuntun dan pedoman hidup kami sehingga akan membawa kebahagiaan dalam hidup kami untuk terlahir di alam Surga hingga tercapainya Nibbâna.”

4. Bunga/kembang, melambangkan keindahan yang tidak bertahan lama atau yang akan mengalami kelapukan / ketidakkekalan. Dengan memperhatikan bunga, seyogianya kita memahami ajaran tentang ketidakkekalan. Kecantikan, kedudukan, kepandaian, keahlian, kekayaan, martabat, jabatan, dan lain-lainnya adalah tidak bertahan selamanya akan mengalami perubahan pada saatnya tiba. Oleh karena itu, bunga yang dipersembahkan ke atas altar Buddha adalah sebagai alarm kehidupan bagi kita, di mana suatu saat apa yang kita miliki dan kita harapkan tidaklah dapat kita lekati sepanjang masa. Semuanya akan berpisah. Dengan demikian, kita harus menghindari keangkuhan, kesombongan, dan tinggi hati. Pada saat akan mempersembahkan bunga di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” Kami persembahkan bunga ini di atas altar Buddha yang melambangkan keindahan yang tidak dapat bertahan lama dan suatu saat akan mengalami kelapukan/ketidakkekalan, semoga demikian-lah hendaknya kami dapat memanfaatkan kehidupan ini dengan penuh perhatian, sehingga menghindarkan diri kami dari keangkuhan, kesombongan, dan tinggi hati.”

5. Makanan serta buah-buahan, melambangkan buah dari suatu perbuatan atau keberhasilan atas segala usaha yang telah dilaksanakan. Setiap perbuatan atau usaha yang dilakukan, suatu saat nanti akan membuahkan hasil atau akibat. Berbuat baik akan berakibat kebahagiaan, kemujuran atau berkecukupan/kaya sedangkan berbuat kejahatan akan berakibat penderitaan, kesialan atau serba kekurangan. Segala sesuatu yang akan diterima bila tepat pada waktunya, maka akan menjadi kenyataan, untuk itu manusia dituntut ketenangan dan kesabaran dalam menunngu kenyataan tersebut. Pada saat akan mempersembahkan makanan/buah-buahan di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” Kami persembahkan makanan/buah-buahan ini di atas altar Buddha yang melambangkan keberhasilan atau tercapainya cita-cita, semoga demikianlah hendaknya perbuatan yang telah kami lakukan dalam kehidupan ini akan membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidup kami untuk terlahir di alam Surga hingga tercapainya Nibbâna.”

10 komentar:

  1. Terima kasih atas pengetahuan yang diberikan. Semoga bermanfaat, sadhu sadhu sadhu . .

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas sharingnya

    BalasHapus
  3. Namo Budhaya ko ijin ambil artikelnya ya untuk ig organisasi buddha terimakasih

    BalasHapus
  4. Bagaimana jika posisi ingin sembayang tetapi benda benda persembahan tidak ada seperti Buddha rupang ,dupa,dan lain lain dikarenakan faktor ekonomi dan letak vihara jauh dari rumah

    BalasHapus